Dark/Light Mode

Pengamat: Harga Beli Listrik Sampah Kemahalan, PLN Bisa Tekor

Jumat, 25 Juni 2021 11:18 WIB
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). (Foto: Ilustrasi/Ist)
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). (Foto: Ilustrasi/Ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - Harga jual listrik yang dihasilkan dari  Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dinilai terlalu mahal. Sehingga dapat merugikan Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pembeli.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai, perlu regulasi baru agar upaya pengurangan sampah perkotaan tidak membebani PLN. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018, PLN membeli listrik dari PLTSa sebesar 13,35 sen dolar AS per kilowatt hour (kWh).

Apabila dikonversikan ke mata uang rupiah, dengan kurs 1 USD senilai Rp14.400, maka harga beli listrik dari PLTSa senilai Rp1.922,4 per kWh. Harga tersebut di atas rata-rata Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik PLN. Pada APBN 2021, BPP ditetapkan Rp 355,58 triliun atau rata-rata sebesar Rp 1.334,4 per kWh. 

Baca juga : Cihuy, Beli Tiket Kapal Kini Bisa Lewat BRILink

Dia mencontohkan, pembangkit PLTSa Benowo di Surabaya membutuhkan investasi sebesar US 50 juta dolar dengan kapasitas 10 MW dan PLTSa Jakarta investasi mencapai US 345,8 juta dolar dengan kapasitas pembangkit 38 MW. Nilai investasi yang besar tersebut membuat PLN harus membeli listrik sebesar 13.35 sen per kwh.

"Dengan tarif per kWh yang begitu mahal  maka akan memberatkan PLN. Apalagi sebenarnya PLN masih memiliki pilihan energi primer lain yang tarifnya lebih rendah dibandingkan PLTSa," ucapnya kepada wartawan, Jumat (25/6).

Dijelaskannya, perlu insentif tersendiri bagi PLN dalam membeli listrik yang dihasilkan oleh PLTSa. Sehingga tidak memberatkan PLN. Mengingat saat ini produksi listrik masih cukup berlimpah.

Baca juga : Hilangkan Pungli di Pelabuhan, Pelindo Bisa Nyontek Cara KAI

"Bentuk insentif yang bisa diberikan bisa berupa dana kompensasi atau subsidi kepada PLN terkait pembelian harga PLTSa tersebut," jelasnya.

Mamit juga menyoroti biaya pembangunan PLTSa yang dibebankan ke daerah akan cukup memberatkan bagi setiap pemerintah daerah. Dia menjelaskan, peranan pemerintah daerah harus menggandeng pihak swasta dalam rangka membangun PLTSa tersebut. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah sudah mencapai nilai keekonomian dari biaya untuk pembangunan dengan nilai beli oleh PLN?

"Apalagi jika Pemda menggandeng pihak swasta maka perhitungan mereka akan lebih hati-hati lagi, kecuali memang pemda membentuk BUMD yang mengelola PLTSa sendiri. Perlu adanya insentif lebih kepada Pemda di mana bantuan saat ini sebesar Rp 500.000 per ton di nilai belum cukup dan memadai," tuturnya.

Baca juga : Menpora Optimistis Panahan Bisa Tambah Tiket Olimpiade Tokyo

Mamit menekankan, perlu dibuat kembali aturan turunan dari Perpres 35 Tahun 2018 sehingga bisa mengatur dari sisi yang lebih teknis dan juga pembiayaan agar bisa berjalan optimal.

"PLTSa ini sepertinya membutuhkan dukungan semua pihak. Mengingat ada dua potensi yang didapatkan yaitu pengelolaan sampah menjadi lebih baik. Di sisi lain, listrik dapat dihasilkan dari sampah tersebut. Tanpa ada dukungan dari pusat, Pemda sepertinya berhati-hati dalam menjalankan pembangunan PLTSa tersebut mengingat investasinya sangat besar tetapi listrik yang dihasilkan kurang signifikan," pungkasnya.

Seperti diketahui, Perpres Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, harga pembelian listrik oleh PLN dari PLTSa untuk kapasitas sampai dengan 20 megawatt (MW) ditetapkan sebesar 13,35 sen dolar AS per kWh, sedangkan kapasitas di atas atas 20 MW ditetapkan 11,8 sen dolar AS per kWh. [FAQ]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.