Dark/Light Mode

Ibu Kota Negara Pindah Ke Luar Jawa, Berkah Apa Musibah?

Selasa, 30 April 2019 10:37 WIB
Joko Widodo Presiden memimpin rapat kabinet terbatas membahas rencana pemindahan Ibu Kota Negara, Senin (29/4/2019), di Kantor Presiden, Jakarta. (Foto: Biro Pers Setpres).
Joko Widodo Presiden memimpin rapat kabinet terbatas membahas rencana pemindahan Ibu Kota Negara, Senin (29/4/2019), di Kantor Presiden, Jakarta. (Foto: Biro Pers Setpres).

RM.id  Rakyat Merdeka - Presiden Jokowi memutuskan Ibu Kota Negara akan dipindahkan ke luar Jawa. Tempat jelasnya memang belum disebut. Pokoknya tidak di Jawa lagi. Pro kontra muncul menyikapi keputusan ini. Ada yang bilang berkah. Ada yang bilang musibah.

Jokowi didampingi sejumlah menteri menggelar rapat terbatas terkait pemindahan ibukota, di Istana Presiden, Senin (29/4). Hasilnya, Ibukota akan dipindah ke luar Pulau Jawa. “Ini kita bicara bukan hanya Jakarta, tapi berbicara mengenai Pulau Jawa,” kata Jokowi.

Mantan Gubernur DKI Jakarta ini menjelaskan, salah satu pertimbangan utamanya adalah sebaran jumlah penduduk di seluruh Indonesia. Dari data yang sampai ke Presiden, jumlah penduduk di Pulau Jawa mencapai 57 persen dari total jumlah penduduk di Indonesia.

Sementara, di Sumatera ada 21 persen dan di Kalimantan 6 persen. “Nah, ini di Kalimantan masih 6 persen, baru 6 persen. Sulawesi 7 persen. Papua, Maluku 3 persen. Pertanyaannya, apakah di Jawa mau ditambah? Sudah 57 persen, ada yang 6 persen, 7 persen dan 3 persen,” kata Jokowi.

Baca juga : Hadapi Ceres Negros, Persija Jalani Laga Krusial

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, rapat memang mengerucut pada tiga opsi terkait Ibukota. Pertama, mengubah peruntukkan di wilayah sekitaran Istana Kepresidenan Jakarta dan Monas. Kedua, dipindahkan di daerah sekitar Jakarta, dan terakhir dipindah ke luar Pulau Jawa.

“Presiden memilih alternatif ketiga, yaitu memindahkan Ibukota ke luar Jawa. Ini barangkali salah satu putusan penting yang dilahirkan hari ini dan tentunya akan dilanjutkan dengan rapat terbatas berikutnya,” ungkap Bambang.

Bambang mengatakan, keputusan ini didasari oleh berbagai pertimbangan yang sudah dikaji kementeriannya. Salah satunya, Ibukota baru harus memiliki lokasi strategis secara geografis, yaitu berada di tengah wilayah Indonesia. Luas lahan daerah yang akan menjadi calon Ibukota mencukupi, baik lahan tersebut milik pemerintah maupun milik BUMN. Sebab, pembangunan Ibukota membutuhkan lahan yang luas. Estimasinya sekitar 30-40 ribu hektar.

Selanjutnya, wilayah harus bebas bencana alam atau setidaknya paling minim risiko. Mulai dari gempa bumi, gunung berapi, tsunami, banjir, erosi, maupun kebakaran hutan dan lahan gambut. Selain itu, harus tersedia sumber daya air yang cukup dan bebas dari pencemaran lingkungan.

Baca juga : Ibu Negara Ngelap Keringat Anak-anak

Pakar Politik dan Pemerintahan Universitas Parahyangan Bandung, Prof Asep Warlan Yusuf mengapresiasi upaya pemerintah memindahkan Ibukota dari Jakarta. Menurutnya, ini anugerah bagi Indonesia, bahkan untuk Jakarta sendiri. Saat ini, keadaan Jakarta sudah tidak kondusif. “Di Jakarta semua sudah tumplek blek,” katanya, kemarin.

Namun, dia mengingatkan pemindahan Ibukota bukan perkara mudah. Bahkan di negara-negara besar membutuhkan waktu sekitar 20 tahun. Hal itu berkaitan dengan infrastruktur sebagai penunjang roda pemerintahan. Kendati begitu, pemindahan Ibukota akan menjadi berkah bagi daerah baru tersebut. Ekonomi akan tumbuh dan menjadi Jakarta baru.

Pendapat berbeda disampaikan Ekonom Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara. Dia bilang, lebih banyak mudaratnya jika Ibu Kota Negara dipindah. Pemerintah akan mengeluarkan biaya yang sangat besar dalam jangka panjang. “Ini membebani APBN maupun APBD. Dengan kondisi anggaran seperti sekarang yang masih defisit, saya khawatir utang kita semakin banyak dan itu semakin kurang produktif,” ujarnya, Senin (29/4).

Meski pertumbuhan ekonomi daerah setempat berpotensi meningkat, tetapi hal itu lebih banyak disokong belanja pemerintah. “Padahal kita tahu, porsi belanja pemerintah terhadap PDB hanya sekitar 9 persen. Porsi ekonomi yang diciptakan pemerintah masih belum signifikan. Yang signifkan kan masih dari swasta,” katanya.

Baca juga : Indonesia Terus Garap Pasar Wisatawan Arab Saudi

Menurut dia, tidak ada jaminan jika Ibu Kota dipindah maka industri juga akan dibangun di daerah baru. “Belum tentu ada korelasi di sana. Makanya saya bilang, efek positifnya hanya bersifat jangka pendek. Sementara untuk jangka panjang, solusinya bukan pindah Ibu Kota,” jelas Bhima.

Selanjutnya, pemindahan Ibu Kota justru menciptakan para mafia dan calo pertanahan. Mereka akan berspekulasi dalam penetapan harga tanah. Sehingga harga tanah jadi mahal. Dampaknya, aksi calo dan mafia ini akan merugikan masyarakat sekitar dan menciptakan inflasi yang tinggi. Belum lagi, Ibu Kota yang baru dapat memunculkan masalah urbanisasi.

Terakhir, menurut Bhima, dari sisi fiskal. Anggap saja perpindahan Ibu Kota akan dianggarkan tahun 2020. Akibatnya, akan terjadi pembengkakan pengeluaran. “Jangan sampai membangun Ibukota baru dari utang,” katanya. [BSH]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.