Dark/Light Mode

Suburnya Perekonomian Batavia di Tangan Etnis Tionghoa

Rabu, 2 November 2022 09:00 WIB
Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Prof Bondan Kanumoyoso. [Foto: FB]
Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Prof Bondan Kanumoyoso. [Foto: FB]


Tia Supriyani, 

Alumni Pondok Pesantren Daarul Rahman 

dan 

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(*)

Mencoba Peruntungan di Kota Migran: Cina Batavia Abad 17-18

Pembahasan Tionghoa di Batavia abad 17-18 oleh Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI), Prof Bondan Kanumoyoso yang menulis disertasinya mengenai Batavia abad 17-18.

Masyarakat Tionghoa memainkan peran yang penting pada abad ini ke-17 dan ke-18, meskipun kedatangan mereka ke Nusantara, jauh sebelum abad-abad ini. Bukan hanya di sektor ekonomi namun juga di beberapa sektor lainnya.

Batavia menjadi tempat bermukimnya masyarakat Tionghoa, tepatnya di tepi timur Sungai Ciliwung, saat Belanda tiba di Jayakarta pada 1596, hingga akhirnya berganti nama menjadi Batavia, sejak direbut oleh VOC pada 1619.

Saat itu, masyarakat Tionghoa mencari nafkah dengan menanam padi dan menyuling arak. Arak saat itu menjadi salah satu industri penting, karena diperlukan oleh para pelaut untuk mengurangi rasa mabuk lautnya. Karena produksi arak ini, gula menjadi suatu komposisi bagi bahan produksi arak yang dimasak dari tebu, kemudian disuling, sehingga menghasilkan minuman (arak) yang digunakan untuk kegiatan pelayaran.

Pada masa itu, VOC melakukan kegiatan sensus secara rutin, sehingga jumlah masyarakat Tionghoa yang mulanya hanya berkisar 400 orang, berkembang pesat, hingga selalu menduduki peringkat 3 besar dalam demografi penduduk.

Di kota ini, masyarakat Tionghoa melakukan berbagai pekerjaan, mulai dari menjadi kuli, pedagang, petani, tukang kebun hingga pengusaha swasta. Ini pulalah yang menjadi sumber kemakmuran bagi Batavia saat itu. Sehingga saat terjadi pembantaian orang Tionghoa di Batavia pada 1740, penurunan drastis terjadi dalam bidang perekonomian Batavia.

Baca juga : Dua Peluang Di Tangan Emil

Keterikatan Tionghoa dan Batavia begitu terasa. Karenanya, menurut Francois Valentijn, seorang Romo Katolik yang tinggal di Batavia pada akhir abad ke-17 hingga awal abad ke-18, warga Tionghoa saat itu mampu melakukan berbagai perdagangan, seperti tukang kayu penyuling arak, pembuat batu bata, pedagang gula, terlibat dalam kegiatan pertanian, menjajakan segala macam makanan, minuman, pakaian, hingga sayur mayur dengan keuntungan yang minim. Namun hal inilah yang membuat perekonomian Batavia dapat berkembang dengan baik.

VOC mempercayakan perkembangan ekonomi kepada masyarakat Tionghoa dengan memberi gelar “Kapten” (bukan pangkat militer), yang pada saat itu bernama Souw Beng Kong, yang memiliki peranan untuk menjaga hukum, ketertiban setiap urusan sipil yang mungkin terjadi. Selain itu, utamanya Kapten adalah menjamin adanya komoditi dagangan yang menguntungkan bagi VOC ke Batavia saat itu. Batavia menjadi lebih makmur karena Kapten Souw Beng Kong memiliki peluang mendapat keuntungan dari setiap dagangan jung Cina yang dipromosikan ke Batavia.

Perlu dicatat, bahwa hampir sebagian besar pajak yang didapat VOC berasal dari para kelompok elite Cina, yang merupakan golongan pengusaha swasta yang merupakan perwira Tionghoa. Kepemilikan modal inilah yang membuat para pengusaha swasta Tionghoa lebih leluasa menggunakan modalnya, tidak hanya untuk mengimpor barang dagangan Cina, tetapi juga pemilikan toko, penyediaan transportasi, penggilingan gula, penyulingan arak, peminjaman uang hingga ke sektor konstruksi, seperti pembangunan jalan, jembatan, bangunan, dan kanal Batavia yang dibangun, direnovasi oleh para tenaga kerja Tionghoa.

Termasuk ke pembangunan balai kota, yang kita kenal sekarang dengan Museum Sejarah Jakarta/ Museum Fatahillah, yang dibangun oleh para kontraktor Tionghoa dengan hasil pajak kepala. Sehingga layak dikatakan, bukan hanya di sektor ekonomi peranan Tionghoa membangun Batavia saat itu, namun juga hingga ke penyediaan infrastruktur.

Tidak hanya itu, pada sektor pertanian dan perkebunan, menurut arsip VOC pada 1650, tanah di Batavia berdasarkan kepemilikannya merupakan milik orang Belanda, Tionghoa, Mardijker dan pribumi. Kebanyakan orang Belanda pemilik tanah merupakan jendral, pejabat atau pun pensiunan VOC. Namun pada realitanya, tanah-tanah tersebut paling banyak dikelola atau disewakan oleh orang Tionghoa. Sehingga tanah yang dimiliki orang Belanda saat itu dapat menghasilkan dan menjadikan tanah-tanah tersebut menjadi sawah maupun perkebunan yang produktif.

Hal penting lainnya pada perekonomian abad ke-17 di Batavia ini adalah adanya industri gula. Industri gula ini mulai tumbuh di Batavia karena memang di bawah pengawasan VOC langsung. Meski sebelum VOC datang, industri gula sudah merupakan keahlian orang Tionghoa yang telah memulai usaha pada industri ini di Banten, Jayakarta dan kota-kota di Pantai Utara Jawa lainnya.

Maka saat VOC datang ke Batavia, mereka melihat yang berpotensi dalam perekonomian ialah industri gula ini. VOC berupaya memonopoli industri ini dengan menciptakan kolaborasi antara orang Tionghoa dalam hal produksi, dan pemasaran yang dilakukan oleh VOC serta mendalami pasar, karena kebutuhan gula yang diperlukan dengan harga yang cukup tinggi. Dari sinilah bermula dilakukannya ekspor gula, yang mampu menghidupkan roda perekonomian di Batavia.

Pemerintah Batavia juga berupaya menarik minat pengusaha Tionghoa agar terjun ke industri gula, dengan cara menetapkan harga minimum, membebaskan pajak perorangan serta menjamin pembelian hasil produksi. Sementara untuk gula yang hasilnya kurang baik diolah dan digunakan untuk pembuatan arak.

Baca juga : Tabrakan Beruntun Di KM 90 Tol Cipularang, 2 Orang Meninggal

Sebab inilah yang membuat produksi gula dan arak tidak bisa dipisahkan. Kedua industri ini yang membuat lahan pertumbuhan ekonomi di Batavia menjadi luar biasa. Dengan kesinambungan inilah saat adanya produksi gula yang melimpah di Eropa guna menyaingi produksi gula di Asia dan wilayah-wilayah lain saat itu, yang berakibat membuat pasokan gula berlebih dan menyebabkan krisis gula yang merupakan juga sumbu terjadinya peristiwa Geger Pecinan pada 1740.


Keterikatan Batavia dengan Banten

Dr. Ayang Utriza Yakin, sejarawan yang menanggapi pemaparan Prof Bondan Kanumoyoso menjelaskan, ketika berbicara Batavia, tidak bisa dipisahkan dari Banten. Karenanya Batavia, Jayakerta, Jawa bagian Barat, Sumatera seperti Lampung, Bengkulu, kecuali Palembang, masih merupakan bagian dari Kesultanan Banten.

Sederhananya, semisal dengan nama Jayakerta. Jayakerta merupakan nama paman dari Sultan Abul Mafakhir yang diberikan Kakek Sultan Ageng untuk menguasai seluruh Batavia. Kemudian, alasan dibaliknya selalu terjadi perselisihan antara Kesultanan Banten dan Batavia disebabkan karena VOC sudah mengambil wilayah milik Kesultanan Banten, yakni Batavia.

Pertumbuhan penduduk Tionghoa di Batavia yang memproduksi arak, gula pun merupakan limpahan orang Tionghoa dari Banten. Setelah berakhirnya perang sipil pada 1682-1684 yang terjadi antara Sultan Ageng dengan anaknya, yakni Sultan Haji, yang saat itu dibantu oleh VOC, hampir keseluruhan warga Tionghoa di Banten pindah ke Batavia, sehingga perekonomian di Batavia tumbuh subur berkat ilmu dan teknologi yang dimiliki Tionghoa Banten.

Menariknya lagi, sejak masa Kesultanan Banten, agama bukanlah menjadi pembeda utama dalam pengelompokkan golongan masyarakat, namun dengan asal muasal dan etnis. Hal ini dibuktikan dengan Undang-Undang Banten abad 17-18 ini, antara Tionghoa Muslim dengan Tionghoa asli yang beragama selain Islam, tidak dibeda-bedakan.

Selaras juga dengan cara pandang atau paradigma umum di semua kerajaan Islam pada saat itu, yakni toleransi. Sehingga di beberapa tempat banyak yang menamakan tempat tersebut dengan Kampung Cina, Kampung Inggris, Kampung Denmark dan lainnya. Di Batavia sendiri pun, daerahnya dibagi-bagi berdasarkan asal muasalnya. Maka tak heran jika diberi nama dengan Kampung Ambon, Kampung Makassar, Kampung Manggarai, Kampung Bugis dan lain sebagainya.

Di antara mengerikannya hal yang dilakukan VOC untuk mencapai keuntungan yang sebanyak-banyaknya dari segi sosial, politik dan ekonomi ialah penanaman pola berpikir yang dilakukan VOC bagi rakyat kita, sehingga timbul rasisme dan diskriminasi yang sampai saat ini bahkan masih terasa.

Warga Tionghoa memang “di-anak emaskan” oleh VOC pada saat itu, dijadikan tameng Belanda, diberi ‘privilege’ maupun kepercayaan dalam banyak hal, sosial, politik maupun ekonomi yang menimbulkan kecemburuan bagi etnis lain.

Baca juga : KPK Isyaratkan Bupati Bangkalan Berstatus Tersangka

Lalu mengapa saat ini, agama yang beda menjadi mudah sekali tersulut guna suatu kepentingan yang dapat memecah belah kerukunan masyarakat kita? Sementara negara kita memiliki kekayaan sejarah yang melimpah ruah dengan segala keunikan dan ‘ilmu’ dari setiap sejarahnya.

Kejahatan politik identitas yang digunakan untuk menyambut Pemilu 2024 mendatang agar masyarakat kita semakin tahu dan paham, bahwa cara-cara ‘kotor’ itu merupakan warisan dari VOC Belanda. Ditegaskan oleh Prof Peter Carey yang berkesempatan hadir pada pertemuan kali ini, bahwa abad 17-18 ini menarik karena merujuk pada satu masyarakat peranakan, disebabkan banyaknya masyarakat Tionghoa yang menikah dengan etnis lain, sehingga memiliki anak peranakan.

Carey juga mengatakan, sejatinya keberadaan etnis lain bukanlah untuk merugikan Indonesia, namun justru memperkayakan bangsa ini dengan peranannya dalam membangun pertumbuhan ekonomi dan akulturasi bangsa.

Menutup diskusi ini, Idris Masudi, moderator acara, mengatakan, “Orang-orang Tionghoa di Nusantara: apapun prasangka yang berlaku bagi masyarakat Tionghoa, alih-alih membentuk suatu kebudayaan homogen, masyarakat Tionghoa sangat majemuk.

Kedua, alih-alih menolak asimilasi dan mempertahankan perubahan dalam segala hal, orang Tionghoa malah menunjukkan keterbukaan konsisten terhadap lingkungan sosialnya hingga berkali-kali terdapat kelompok Tionghoa yang menghilang akibat membaur dengan masyarakat sekitar. (*)



Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.