Dark/Light Mode

Kedubes AS Tekankan Pentingnya Pers Di Tengah Aktifnya Medsos

Kamis, 4 Mei 2023 22:27 WIB
Diskusi memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia di @america, Rabu (3/5), diikuti panelis (dari kanan) Ketua AJI Sasmito, peneliti Setara Institute Sayyidatul Insiyah dan Political Officer Kedutaan Besar AS di Jakarta, Jordan Younes serta moderator diskusi. (Foto Paul Yoanda/RM)
Diskusi memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia di @america, Rabu (3/5), diikuti panelis (dari kanan) Ketua AJI Sasmito, peneliti Setara Institute Sayyidatul Insiyah dan Political Officer Kedutaan Besar AS di Jakarta, Jordan Younes serta moderator diskusi. (Foto Paul Yoanda/RM)

RM.id  Rakyat Merdeka - Sangat mudah mendapat informasi dari media sosial saat ini. Namun, jurnalis tetap bekerja keras dan mengambil risiko untuk menyampaikan informasi akurat ke masyarakat.

Menurut Juru Bicara Kedubes AS di Jakarta, Michael Quinland, jurnalis memainkan peran yang sangat penting dalam menginformasikan publik.

"Meski tidak terlalu bagus, saya pernah jadi wartawan, dan saat ini, sebagai pejabat resmi Pemerintah, saya sangat menghormati hal-hal yang jurnalis lakukan," tuturnya.

"Demokrasi tidak akan ada tanpa kebebasan pers. Demokrasi tidak akan ada tanpa publik yang terinformasi, dan juga media," katanya ketika membuka diskusi untuk memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia, 3 Mei 2023, di Pusat Kebudayaan AS di Jakarta, @america.

Diskusi itu dihadiri Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito, peneliti SETARA Institute Sayyidatul Insiyah dan Political Officer Kedutaan Besar AS di Jakarta, Jordan Younes.

Pers Alat Akses Informasi

Baca juga : Anies Lanjutkan Safari Politik Pertengahan Mei Mendatang

Younes mengatakan, pers merupakan alat untuk mengakses informasi. Dengan itu, berarti masyarakat tahu apa yang dilakukan Pemerintah. Selain itu, juga bisa tahu dengan apa yang dilakukan pihak lain.

"Kami juga bisa membuat keputusan berdasarkan informasi, di mana kami ingin menghabiskan waktu atau perhatian kami, dan juga sumber daya kami," ujar Younes.

Pers, lanjutnya, juga merupakan pasar ide. Ketika memiliki kebebasan pers, berarti memiliki keragaman pendapat. Itu bisa berkontribusi pada toleransi, dan membangun masyarakat yang terikat lebih erat.

 "Jadi, yang dilakukan wartawan sangat penting. Hal fundamental untuk HAM. Tanpa kebebasan pers, kita tidak memiliki kebebasan berekspresi. Kita tidak bisa bebas berkumpul," ujarnya.

Sementara Sasmito menyoroti kekerasan yang kerap menimpa jurnalis dalam menjalankan profesinya. 

"Malah, ada kalanya kita bisa dituding anti NKRI, atau mendukung kelompok pemberontak," katanya.

Baca juga : Lebaran H+2, ASDP Seberangkan 88.758 Penumpang dari Bakauheni ke Merak

Lebih lanjut, dia juga memaparkan situasi kebebasan pers di Myanmar. Dia bilang, Myanmar jadi negara nomor dua di dunia yang memenjarakan jurnalis setelah China.

Dia mengklaim, pihaknya, selalu mengkampanyekan kemerdekaan pers di Tanah Air maupun di luar negeri.

"Seperti di Myanmar, kita mendorong agar para jurnalis segera dibebaskan, termasuk juga dengan para jurnalis di Ukraina dan Rusia," ungkapnya.

Terkait kekerasan terhadap jurnalis, AJI mencatat, serangan terhadap jurnalis pada 2022 mencapai 61 kasus, dengan korban mencapai 97. Para korban berasa dari 14 organisasi media.

"Jumlah kasus meningkat dari tahun 2021, yang mencapai 43 kasus," katanya.

Kekerasan terhadap jurnalis dilakukan dengan berbagai cara. Di antaranya, serangan digital sebanyak 15 kasus, kekerasan fisik dan perusakan alat kerja 20 kasus, kekerasan verbal 10 kasus, kekerasan berbasis gender 3 kasus, penangkapan dan pelaporan pidana 5 kasus, serta penyensoran 8 kasus.

Baca juga : Berkat Pengamanan Polri, Warga Merasa Tenang Dan Nyaman Saat Mudik

Yang disayangkan, para pelaku aksi kekerasan berasal dari aktor negara. "Untuk tindakan hukum lebih lanjut terhadap pelaku kekerasan jurnalistik, sampai saat ini baru dua aparat yang diputus bersalah, dan dihukum penjara oleh pengadilan," terangnya.

Peneliti Setara Institute Sayyidatul Insiyah mengatakan, saat ini ada semacam warning terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia. Pasalnya, sejak 2019 hingga 2022, kebebasan pers di Negera Merah Putih itu punya skor paling rendah. Dari rentang nilai 1-7, angkanya tidak pernah mencapai 3.

Sayyidah mencatat, 2019 angka indeksnya, 1,9. Pada 2029 angkanya 1,7. Sementara 2021 angkanya 1,6, dan 2022 angkanya 1,5. 

Perempuan yang akrab disapa Sisy itu mengingatkan pentingnya kebebasan berpendapat dan berekspresi itu juga untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.