Dark/Light Mode

Workshop 3 ICJN Kerjasama FPCI-Kedubes Denmark

Perdagangan Karbon, Jurus Keniscayaan Kebijakan Iklim

Selasa, 30 Mei 2023 10:50 WIB
Para Peserta Workshop 3: “Carbon Market”, Indonesian Climate Journalist Network (ICJN), kerjasama Climate Unit FPCI dengan Kedubes Denmark di Indonesia, Rabu, 10 May 2023. [Foto: FPCI]
Para Peserta Workshop 3: “Carbon Market”, Indonesian Climate Journalist Network (ICJN), kerjasama Climate Unit FPCI dengan Kedubes Denmark di Indonesia, Rabu, 10 May 2023. [Foto: FPCI]

RM.id  Rakyat Merdeka - Perdagangan karbon (carbon market) adalah salah satu jurus keniscayaan dalam kebijakan iklim (climate policy). Mengingat, masyarakat internasional sudah amat menyadari, emisi gas rumah kaca kian mengancam kehidupan umat manusia.

Karenanya, target pun sudah dicanangkan. Tanpa kebijakan iklim, dunia akan makin memanas. Ancaman nyata bagi kehidupan.

Hal ini ditegaskan Senior Analyst Climate Policy Initiative (ICP), Alke Rabinsa Haesra di forum Workshop 3: “Carbon Market”, Indonesian Climate Journalist Network (ICJN), kerjasama Climate Unit Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dengan Kedutaan Besar Denmark di Indonesia, Rabu, 10 May 2023.

FPCI didirikan dan diketuai oleh Dr. Dino Patti Djalal, mantan Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia ke-5 dan mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat ke-17.

Sementara CPI adalah organisasi analisis dan penasehat yang bekerja dengan keahlian mendalam di bidang keuangan dan kebijakan. Dikutip dari lama resminya, CPI mengemban misi membantu Pemerintah, bisnis, dan lembaga keuangan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengatasi perubahan iklim.

Analis Senior Climate Policy Initiative (ICP), Alke Rabinsa Haesra. [Foto: climatepolicyinitiative.org]

Duduk sebagai direktur di lembaga yang berkantor pusat di Venesia, Italia ini adalah Angela Falconer. Di CPI, selain telah menelusuri arus pembiayaan perubahan iklim untuk beberapa edisi laporan Lanskap Pendanaan Global Untuk Perubahan Iklim, pemegang gelar MSc bidang Manajemen dan Perubahan Lingkungan dari University of Oxford ini juga mengelola penyusunan Lanskap Pendanaan Publik untuk Perubahan Iklim di Indonesia.

Falconer pernah pula jadi penasihat Pemerintah Indonesia, terkait rancangan dana perubahan iklim nasional.

Baca juga : Dampak Krisis Iklim, Serem!

Istilah dan praktek perdagangan karbon (carbon market), di Indonesia sebenarnya masih tergolong baru. Sehingga wajar, belum banyak orang yang mengetahuinya.

Mengutip Indonesia Commodity & Derivatives Exchange (ICDX) di portal resminya icdx.co.id, perdagangan karbon (carbon trading) adalah kegiatan jual beli kredit karbon (carbon credit), di mana pembeli menghasilkan emisi karbon yang melebihi batas yang ditetapkan.

Kredit karbon merupakan representasi dari ‘hak’ sebuah perusahaan untuk mengeluarkan sejumlah emisi karbon atau gas rumah kaca (GRK) lainnya dalam proses industrinya. Satu unit kredit karbon, setara dengan penurunan emisi 1 ton karbon dioksida (CO2).

Sementara kredit karbon yang dijual, umumnya berasal dari proyek-proyek hijau. Lembaga verifikasi seperti Verra, akan menghitung kemampuan penyerapan karbon oleh lahan hutan pada proyek tertentu. Lalu menerbitkan kredit karbon yang berbentuk sertifikat. Kredit karbon juga dapat berasal dari perusahaan yang menghasilkan emisi di bawah ambang batas yang ditetapkan pada industrinya.

Pemerintah setempat biasanya akan mengisukan kredit tersebut hingga batasan tertentu. Jika perusahaan menghasilkan emisi kurang dari kredit yang dimiliki, maka perusahaan tersebut bisa menjual kredit di pasar karbon.

Namun jika emisi yang dihasilkan melebihi kredit yang dimiliki, maka perusahaan harus membayar denda atau membeli kredit di pasar karbon. Jadi, negara-negara di dunia dapat mengontrol jumlah emisi karbon yang dihasilkan dan mengurangi dampak gas rumah kaca secara signifikan.

Selain menyediakan sarana dan prasarana dalam layanan bursa untuk perdagangan komoditas seperti emas, minyak mentah, timah, dan valuta asing, di antara sejumlah pilihan bursa yang disediakan ICDX misalnya, salah satunya adalah juga karbon.

Baca juga : Perdagangan Karbon Nggak Ribet Dan Menguntungkan..

Singkatnya, perdagangan karbon dilakukan juga karena memang sudah menjadi kebijakan dunia internasional karena adanya perubahan iklim.

Marlis Afridah, Pendiri dan CEO Green Network Asia saat memandu Workshop 3: “Carbon Market”, ICJN kerjasama Climate Unit FPCI dengan Kedubes Denmark. [Foto: FPCI]

Alke Rabinsa Haesra mengingatkan, dalam perdagangan karbon, tentu dibutuhkan penetapan harganya. Ini bisa dilakukan melalui dua cara, yaitu secara langsung dan tidak langsung.

Secara langsung, jelas sarjana bidang Administrasi Bisnis dari Stenden Hogeschool, Emmen, Belanda ini, bisa melalui pajak karbon, sistem perdagangan emisi (pasar kepatuhan) hingga pasar karbon sukarela.

Sementara melalui cara tak langsung, bisa dilakukan melalui pemberlakuan pajak bahan bakar dan komoditas atau melalui subsidi BBM.

Lebih jauh analis yang mengusai bidang perencanaan kota berkelanjutan, obligasi hijau daerah, energi terbarukan, dan instrumen keuangan inovatif untuk mempercepat transisi rendah karbon ini menjelaskan, pasar karbon dilakukan sebagai mekanisme berbasis pasar, demi mendorong tindakan mengatasi dampak perubahan iklim.

“Juga, sebagai solusi berbiaya lebih rendah, dalam mencapai tujuan lingkungan, dengan adanya manfaat tambahan secara sosial dan ekonomi,” tegasnya.

Selain itu, lanjut Alke, pasar karbon juga akan mengarahkan arus keuangan ke jalur transisi rendah karbon berbiaya lebih rendah, terutama di negara berkembang. “Jadi, akan ada arus dana dari negara-negara maju, ke negara-negara yang sedang berkembang,” papar mantan Manajer Sustainable Financing Relationship di PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) ini.

Baca juga : Wamendag Pede Perdagangan Makin Kuat Di Tengah Ancaman Resesi

Untuk kasus Indonesia, jelas Alke, setidaknya sudah tujuh regulasi yang diterbitkan Pemerintah, terkait pasar karbon. Mulai dari Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016, sebagai ratifikasi Paris Agreement. Yang intinya menyatakan, Pemerintah membutuhkan dana untuk perubahan iklim dan carbon pricing atau carbon finance, sebagai salah satu instrumen untuk mobilisasi pembiayaan iklim.

Kedua, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021, yang mengatur tentang harmonisasi regulasi perpajakan di Indonesia. Dalam hal ini, pajak karbon.

Ketiga, Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2017, tentang instrumen-instrumen ekonomi lingkungan. Keempat, Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021, tentang penerapan carbon pricing untuk mencapai target nasional dan pengawasan terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) dalam pembangunan nasional.

Suasana Workshop 3: “Carbon Market”, Indonesian Climate Journalist Network (ICJN), kerjasama Climate Unit FPCI dengan Kedubes Denmark di Indonesia. [Foto: FPCI]

Kelima, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 22 Tahun 2019, sebagai Pedoman Pelaksanaan Inventarisasi GRK dan Mitigasi bidang Energi.

Keenam, Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik No. 21 Tahun 2022, tentang Implementasi Penetapan Harga Karbon. Dan ketujuh, Permen ESDM No. 16 Tahun 2022, tentang Implementasi Penetapan Harga Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik di PLTU.

Khusus untuk Permen ESDM No. 16 Tahun 2022 ini, melingkupi sejumlah hal, seperti penetapan persetujuan teknis batas atas emisi (PTBAE) untuk pembangkit listrik, persiapan rencana pemantauan emisi GRK untuk pembangkit listrik, penetapan PTBAE-PU (pelaku usaha) untuk pembangkit tenaga listrik dan perdagangan karbon.

Selain itu, juga mencakup penyusunan laporan emisi GRK untuk pembangkit listrik dan evaluasi pelaksanaan carbon trading dan lelang PTBAE-PU. Termasuk di bagian akhir ini juga urusan pengawasan. (*)

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.