Dark/Light Mode

Tumpuk Kekayaan Dari Perbudakan Masa Kolonial

Raja Belanda Minta Maaf

Senin, 3 Juli 2023 05:30 WIB
Raja Willem-Alexander meletakkan karangan bunga di taman bunga, Oosterpark, Amsterdam, Belanda, 1 Juli 2023. (Foto RTE)
Raja Willem-Alexander meletakkan karangan bunga di taman bunga, Oosterpark, Amsterdam, Belanda, 1 Juli 2023. (Foto RTE)

RM.id  Rakyat Merdeka - Raja Belanda Willem Alexander meminta maaf atas peran negaranya dalam perbudakan di masa lalu. Dia juga mengakui hal tersebut sebagai kejahatan pada kemanusiaan.

Willem menyampaikan permintaan maaf secara terbuka itu pada Sabtu (1/7), saat menghadiri upacara peringatan 160 tahun penghapusan perbudakan secara sah di Belanda.

Acara berlangsung di monumen perbudakan nasional di Oosterpark Amsterdam, Belanda.

“Pada hari ini mengingat sejarah perbudakan Belanda, saya mohon maaf atas kejahatan terhadap kemanusiaan ini,” kata anak tertua dari Putri Beatrix dan Claus von Amsberg itu.

Menurutnya, tidak semua orang akan mendukung permintaan maafnya. Ia juga menyadari, rasisme dalam masyarakat Belanda tetap menjadi masalah. Meski demikian, ia meyakini, waktu akan mengubah keadaan.

“Waktu telah berubah dan Keti Koti rantainya benar-benar telah putus,” katanya, yang disambut sorak-sorai dan tepuk tangan ribuan penonton.

Baca juga : Persib Ditahan Madura United, Milla Puji Duo Matador

Keti Koti adalah kata-kata Suriname yang berarti ‘rantai putus’, merupakan sebutan untuk 1 Juli sebagai hari peringatan perbudakan dan perayaan kebebasan.

Akui Sebagai Kejahatan Kemanusiaan

Willem berpidato di hadapan ribuan orang keturunan budak dari Suriname di Amerika Selatan dan Kepulauan Karibia Aruba, Bonaire, dan Curacao. Banyak hadirin mengenakan pakaian warna-warni Suriname.

“Dia mengatakan menyesal,” kata Abmena Ryssan (67), yang mengenakan jubah cerah dan penutup kepala dihiasi bendera Suriname.

“Mungkin dia sekarang bisa melakukan sesuatu untuk orang kulit hitam,” kata Ryssan.

“Kami membutuhkan perbaikan,” tambah Lulu Helder, seorang guru yang nenek moyangnya adalah budak.

“Dia bertanggung jawab, jadi saya memaafkannya,” kata Arnolda Vaal (50), mengenakan baju tradisional budak wanita.

Baca juga : Literasi Rendah Picu Penipuan Keuangan

Permintaan maaf sang Raja merupakan hal yang telah dipertimbangkan ulang terkait masa lalu Kolonial Belanda. Termasuk keterlibatan dalam perdagangan budak Atlantik dan perbudakan di bekas jajahannya di Asia.

Willem juga mengakui adanya beban yang berat atas sejarah kelam negaranya. Dia pun mengakui apa yang dilakukan negaranya sebagai kejahatan kemanusiaan.

“Saya berdiri di hadapan anda sebagai raja dan sebagai anggota Pemerintah, saya menyampaikan permintaan maaf ini sendiri. Dan saya merasakan beban kata-kata di hati dan jiwa saya,” ujarnya.

“Tapi hari ini, pada hari peringatan ini, saya meminta maaf atas kegagalan dalam menghadapi kejahatan terhadap kemanusiaan ini,” tambahnya.

Sumber Kekayaan Dari Perbudakan

Suara Willem terdengar penuh emosi saat dia menyelesaikan pidatonya. Kemudian, ia meletakkan karangan bunga di monumen perbudakan nasional di sebuah taman Amsterdam.

Pidato Willem ini mengikuti permintaan maaf Perdana Menteri Belanda Mark Rutte, pada Desember tahun lalu atas peran negaranya dalam perdagangan budak dan perbudakan.

Baca juga : Pemuda Dan Perempuan Ganjar Gelar Jalan Santai Bareng Warga Di Gowa 

Sejak gerakan muncul di Amerika Serikat,Black Lives Matter (BLM), Belanda telah memulai perdebatan yang sulit tentang masa lalu kolonial dan perdagangan budaknya yang mengubahnya menjadi salah satu negara terkaya di dunia. BLM adalah gerakan untuk menentang kekerasan terhadap orang kulit hitam atau orang kulit berwarna.

Sebuah studi yang dirilis pada Juni lalu menemukan, keluarga kerajaan memperoleh 545 juta euro (atau sekitar Rp 8,9 triliun) antara tahun 1675 sampai 1770 dari koloni, tempat perbudakan yang tersebar luas. Nenek moyang raja saat ini, Willem III, Willem IV, dan Willem V, termasuk di antara penghasil terbesar atas penderitaan warga di negara jajahannya.

Pada 2022, Willem mengumumkan bahwa ia membuang kereta emas kerajaan, karena memiliki gambar perbudakan di sampingnya. Satu panel samping memiliki gambar berjudul “Tribute of the Colonies” yang menggambarkan orang kulit hitam berlutut menyerahkan hasil bumi seperti cokelat dan tebu kepada majikan kulit putih.

Perbudakan secara resmi dihapuskan di Suriname dan tanah-tanah lain yang dikuasai Belanda pada 1 Juli 1863. Tetapi baru berakhir pada 1873 setelah masa transisi selama 10 tahun.

Belanda mendanai “Zaman Keemasan” kerajaan dan budaya mereka pada abad ke-16 dan ke-17 dengan mengirimkan sekitar 600.000 orang Afrika sebagai bagian dari perdagangan budak, sebagian besar ke Amerika Selatan dan Karibia.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.