Dark/Light Mode

Diplomat Senior Stanley Harsha Gambarkan AS Saat Ini

Seperti Bensin, Trump Selalu Kobarkan Api Amarah Rakyat

Jumat, 12 Juni 2020 07:04 WIB
Stanley Harsha (Foto: Twitter @stanley_harsha)
Stanley Harsha (Foto: Twitter @stanley_harsha)

RM.id  Rakyat Merdeka - Terbunuhnya warga kulit hitam, George Floyd, oleh polisi kulit putih menguak luka lama soal rasisme di Amerika Serikat (AS). Sejak dulu, sebagian orang kulit hitam memang selalu diselimuti ketakutan hidup di Amerika. Termasuk takut keluar rumah.

Hal itu disampaikan mantan Diplomat AS, Stanley Harsha, dalam acara Ngobrol Santuy Rakyat Merdeka yang dilakukan secara live di Instagram, langsung dari Colorado, AS, kemarin. Obrolan yang dipandu wartawan senior Muhammad Rusmadi itu bertajuk 'Melihat Kondisi Negeri Paman Sam Terkini'.

Ada dua topik utama yang dibahas dalam obrolan tersebut. Pertama, kondisi AS di tengah pandemi Covid-19. Kedua, isu rasisme yang sempat memantik gelombang protes di seluruh penjuru negeri Paman Sam, akibat kematian Floyd. 

Di tengah kondisi seperti itu, Stanley mengaku bersyukur sedang tidak menjabat sebagai diplomat AS. Sehingga ia bisa berbicara blak-blakan. "Alhamdulillah, sekarang saya tidak dalam posisi harus membela kebijakan (Presiden) Trump," kata Stanley.

Baca juga : China Seperti Kapal Titanic Yang Tak Akan Tenggelam

Ia mengibaratkan Trump seperti bensin. Presiden ke-45 AS itu kerap mengobarkan api amarah rakyat. Baik dalam penanganan Covid-19 maupun isu rasisme. Karena itu, aksi protes hingga kerusuhan pecah di berbagai penjuru negara bagian. Berbeda dengan sosok Barack Obama, yang menurutnya, lebih punya kemampuan dalam meredam amarah rakyat.

"Alhamdulillah, tidak harus membela dia (Trump). Kasihan sekarang diplomat yang harus membela dia," lanjut eks diplomat yang juga fasih berbahasa Indonesia itu, sambil terkekeh.

Kendati demikian, kata Stanley, rasisme bukanlah perkara baru di Amerika. Masalah ini merupakan warisan berabad-abad silam. Kondisi orang kulit hitam yang dulunya berstatus budak, tidak jauh berbeda dengan saat ini.

Dalam beberapa halaman bukunya, yang berjudul 'Seperti Bulan dan Matahari: Indonesia dalam Catatan Seorang Diplomat Amerika' terbitan 2013, Stanley juga mengangkat soal ini. Dia menulis: Cara Amerika Serikat memperlakukan warga Amerika-Afrika merupakan warisan dari ketidakadilan masa silam. 

Baca juga : Perintahkan 9.500 Pasukan AS Hengkang Dari Jerman, Trump Beri Hadiah Buat Rusia?

Meski sudah ada kemajuan, akhir-akhir ini orang kulit hitam justru banyak yang merasa diasingkan. "Meskipun mereka sudah ratusan tahun berdiam di Amerika," ucapnya.

Sebetulnya, terang dia, hampir semua orang yang berkulit putih di AS bersikap rasis. Dirinya, yang termasuk orang kulit putih, mengaku diuntungkan oleh rasisme itu. Namun, banyak yang tidak menyadarinya.

Dengan terbunuhnya Floyd, kini mulai banyak orang merasakan adanya rasisme tersebut. Tantangan sekarang, lanjut dia, bukan pada orang yang kulit hitam. Tapi justru kepada orang yang berkulit putih, agar menjadi sadar tentang rasisme Ini. 

Ia kemudian mencontohkan dirinya. Selaku orang kulit putih AS, ia merasa hidup lebih baik, aman, dan nyaman. Ia tidak dihantui rasa takut untuk bepergian. Kondisi itu bertolak belakang dengan yang dirasakan orang kulit hitam. "Kalau orang berkulit hitam, mereka setiap hari takut. Saya tahu, karena saya punya banyak teman berkulit hitam di sini, di Colorado. Apalagi saya ikut dalam satu kelompok multiras, ada kulit hitam, ada kulit putih, ada orang Hispanik, dan lain-lain," ungkapnya.

Baca juga : Ara: Tak Banyak Orang Seperti Gibran yang Tetap Sederhana dan Merakyat

Dalam beberapa obrolannya dengan warga Amerika-Afrika, ia mendengar banyak cerita ketakutan-ketakutan mereka selama hidup di AS. "Mereka takut polisi, takut dibunuh, takut kena kekerasan. Itulah kehidupan sehari mereka," kisahnya.

Termasuk dalam penanganan kasus narkoba. Sejak Presiden ke-40 Amerika, Ronald Reagan, polisi diberikan power yang cukup besar, baik dalam hal anggaran maupun persenjataan. Mulai saat itu, warga kulit hitam mendapat perlakuan berbeda. Mereka lebih banyak ditangkap, ketimbang pelaku kulit putih. "Bukan karena orang berkulit hitam lebih banyak memakai narkoba daripada orang berkulit putih, tapi memang karena ada rasisme di dalam polisi," beber Stanley.

Kini, terang dia, pemerintah di sejumlah negara-negara bagian Amerika mulai menyadari akan hal itu. Polisi di banyak tempat sudah mau berubah. Bahkan, beberapa gubernur dan wali kota ingin memangkas anggaran besar polisi untuk dialihkan ke pemberdayaan warga kulit hitam. Mulai dari peningkatan kesejahteraan, makanan, pendidikan hingga perumahan yang lebih bagus. [SAR]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.