Dark/Light Mode

Protes Terbesar Setelah Kudeta Militer

Rakyat Thailand Tuntut Perdana Menteri Mundur

Senin, 21 September 2020 05:52 WIB
Para demonstran di Thailand berkumpul di depan Monumen Demokrasi di Bangkok, Thailand, Sabtu (18/7/2020) malam waktu setempat. mereka menyerukan konstitusi baru, pemilihan baru, dan mengakhiri penindasan hukum. (AP Photo/Nathathida Adireksarn)
Para demonstran di Thailand berkumpul di depan Monumen Demokrasi di Bangkok, Thailand, Sabtu (18/7/2020) malam waktu setempat. mereka menyerukan konstitusi baru, pemilihan baru, dan mengakhiri penindasan hukum. (AP Photo/Nathathida Adireksarn)

RM.id  Rakyat Merdeka - Suhu politik di Negeri Gajah Putih membara lagi. Ribuan demonstran turun ke jalan menuntut Perdana Menteri (PM) Prayuth Chan Ocha mundur dan reformasi monarki, pimpinan Raja Maha Vajiralongkorn.

Unjuk rasa itu terjadi pada Sabtu (19/9). Unjuk rasa itu terbesar setelah kudeta militer pada tahun 2014. Peristiwa itu mematahkan hal yang dianggap tabu selama ini. Yakni mengkritik monarki adalah sebuah larangan.

Dilansir BBC, menurut aparat, demonstrasi diikuti sekitar 18.000 orang. Meskipun pihak lain memberikan angka yang lebih tinggi. Banyak yang tetap melanjutkan protes hingga kemarin, sebelum bubar.

Aksi unjuk rasa itu tumbuh sejak pertengahan Juli. Unjuk rasa itu diinisiasi mahasiswa dan digelar hampir tiap hari di Thailand. Tak hanya menuntut reformasi monarki, massa juga menuntut pengunduran PM Prayuth, konstitusi baru, dan pemilihan baru.

Rincian tuntutan tersebut dibuat dalam sebuah surat yang diserahkan pimipinan aksi Parit Chiwarak, kepada polisi.

Phakphong Phongphetra, kepala Biro Polisi Metropolitan, mengatakan dalam siaran video, bahwa surat itu akan diserahkan ke markas besar polisi untuk memutuskan bagaimana melanjutkannya.

Baca juga : Puluhan Ribu Rakyat Thailand Tumpah ke Jalanan

“Kemenangan terbesar bagi kami. Dengan menunjukkan bahwa orang biasa bisa mengirim surat kepada bangsawan,” ungkap Parit.

Tak cuma surat, massa juga menyemen sebuah plakat di dekat Grand Palace di Bangkok. Di daerah yang dikenal sebagai Sanam Luang, atau Royal Field.

Bunyinya, “Di tempat ini orang-orang telah menyatakan keinginan mereka: bahwa negara ini adalah milik rakyat dan bukan milik raja karena mereka telah menipu kita.”

“Bangsa ini bukan milik satu orang selain kita semua. Ganyang feodalisme, panjang umur rakyat,” teriak Parit Chiwarak, dalam upacara pemasangan plakat.

Hingga saat ini, Istana belum memberikan komentar. Sedangkan raja masih berada di Eropa. Demi keamanan, aparat melakukan pengawalan dengan menerjunkan ratusan polisi yang tak dilengkapi senjata.

Wakil Kepala Polisi Bangkok Piya Tawichai mengatakan, pihak berwenang Bangkok saat ini sedang mempertimbangkan apakah akan menghapus plakat demonstran atau tidak.

Baca juga : Pilar Saga Mau Tingkatkan Mutu Pendidikan di Tangsel

Di tempat lain, sebagian warga mendukung plakat tersebut. Dan disebut sebagai salah satu cara untuk memperingati berakhirnya monarki absolut ejak tahun 1932.

Dan peringatan pengusiran raja pada 2017, setelah Vajiralongkorn naik takhta. Tapi, ada juga yang menentang plakat tersebut. Netizen Somchai Chaihat menyayangkan perusakan properti publik.

“Buang saja plakatnya,” kata Chaihat.

Otoritas Thailand mengatakan, mengkritik monarki tidak dapat diterima. Di negara itu, raja secara konstitusional bertahta dan dipuja, serta dihormati.

Makin Besar

Protes mahasiswa itu menarik banyak orang. Terutama dari kalangan lanjut usia. Termasuk pengikut kaus merah dari perdana menteri populis yang digulingkan, Thaksin Shinawatra.

Baca juga : Dengarlah Tuan, Rakyat Ingin Pilkada Serentak 2020 Ditunda

Somporn Outsa, warga paruh baya yang ikut dalam protes mengatakan, generasi muda melakukan apa yang tidak berani dilakukan oleh orang tua dan kakek nenek mereka.

Dia mengaku bangga. “Kami masih menghormati monarki. Tapi harus berdasarkan konstitusi,” ujar Outsa.

Para pengunjuk rasa mengatakan konstitusi memberi raja terlalu banyak kekuasaan. Dan bisa jadi itu merupakan rekayasa agar PM Prayuth bisa mempertahankan kekuasaan setelah pemilihan tahun lalu.

Dia mengatakan bahwa pemungutan suara itu adil. Protes berikutnya dijadwalkan dalam waktu dekat ini, Para pemimpin protes meminta warga Thailand untuk mengambil cuti 14 Oktober untuk menunjukkan dukungan mereka untuk perubahan.

“Perubahan radikal sulit terjadi di Thailand. Tapi gerakan itu harus mempertahankan momentumnya,” kata Titipol Phakdeewanich, dekan ilmu politik di Universitas Ubon Ratchathani. [PYB]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.