Dark/Light Mode

Di Balik Gerakan Boikot Produk Prancis Di Negara-Negara Muslim

Selasa, 27 Oktober 2020 21:33 WIB
Seorang pekerja ritel di Amman, Yordania, menutupi produk Prancis, sebagai protes terhadap kartun Nabi Muhammad yang dicetak ulang di Prancis. Di penutup tertulis, dalam bahasa Arab: Sebagai solidaritas kepada Nabi Muhammad SAW, semua produk Prancis telah diboikot. [Foto: Muhammad Hamed / Reuters]
Seorang pekerja ritel di Amman, Yordania, menutupi produk Prancis, sebagai protes terhadap kartun Nabi Muhammad yang dicetak ulang di Prancis. Di penutup tertulis, dalam bahasa Arab: Sebagai solidaritas kepada Nabi Muhammad SAW, semua produk Prancis telah diboikot. [Foto: Muhammad Hamed / Reuters]

 Sebelumnya 
Pandangan Prancis kepada Islam pun nampaknya tidak pernah baik, kemungkinan besar karena rasa trauma atas kekalahan di Aljazair, yang berujung pada kebijakan-kebijakan yang selalu memojokkan Islam. Warga Muslim di Prancis pun kebanyakan tinggal di kawasan pinggiran dan selalu dianggap sebagai minoritas yang ditindas.

Pada 2004, Prancis menjadi satu-satunya negara di Eropa yang melarang pemakaian penutup kepala untuk wanita atau hijab di sekolah umum. Beberapa tahun kemudian, kebijakan baru kembali diterbitkan untuk melarang pemakaian kain penutup wajah atau niqab di ruang publik.

Komentar Presiden Macron yang ingin mereformasi Islam, agama yang sudah ada selama lebih dari 1.400 tahun dan diikuti lebih dari 2 miliar umat di dunia, dinilai sebagai langkah provokatif.

Baca juga : Sertifikasi Halal Bantu Produk RI Bersaing Di Tengah Pandemi

Macron disarankan mengubah kebijakan yang memarjinalkan umat Muslim Prancis yang kebanyakan tinggal di kawasan miskin dan kumuh. Mereka menjalani hidup serba minim dan kekurangan. Warga di sana kesulitan mendapat pekerjaan dan tempat tinggal yang layak. Kawasan ini juga sangat rentan dengan tindak kriminal.

Sejak 2012, Prancis mencatat ada 36 serangan yang dilakukan oleh kelompok minoritas Muslim di sana. Bukannya mengatasi akar masalahnya, Macron malah menyasar Islam dan Muslim secara umum.

Macron pun berjanji akan segera mewujudkan rancangan undang-undang yang akan menghambat masuknya imam terlatih dan cendikiawan Muslim untuk mencegah munculnya gerakan separaris Islam di Prancis.

Baca juga : Bobby-Aulia Janji Kesehatan Gratis Buat Warga Miskin

Dia juga akan menawarkan potongan pajak bagi masjid-masjid yang mau menandatangani kesepakatan untuk menerima prinsip sekularisme, demokrasi dan hukum Prancis.

Jika dilihat dari komentar terbaru Macron yang menyebut Islam dalam krisis, pengamat menilai, sang pemimpin muda Prancis itu mulai bergeser ke kanan demi mendapatkan dukungan besar dalam Pemilu 2022 mendatang.

Hasil jajak pendapat terbaru menunjukkan, Macron bersaing ketat dengan pemimpin politik sayap kanan, Marine Le Pen, yang terang-terangan menunjukkan pandangannya akan Islamophobia.

Baca juga : KBRI Beijing Gencar Promo Produk Pertanian, Durian Hingga Kopi Di Henan

Di Pemilu 2017, Macron dan Le Pen pernah bersaing. Dan Macron ogah kembali harus berhadapan dengan sang politisi nyentrik itu dalam pemilu dua tahun nanti.

Di sisi lain, Menteri Dalam Negeri Prancis, Gerald Darmanin mengatakan bahwa negaranya tengah mengadakan perang sipil dengan gerakan separatis Islam. Dia menyarankan agar supermarket untuk meniadakan lorong khusus makanan-makanan khas dan unik yang tidak berbau Prancis. Sarannya ini langsung mendapat cemoohan warga net yang menilai Darmanin sebagai orang yang kolot.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.