Dark/Light Mode

WTO: Penghapusan Paten Tak Cukup Atasi Kesenjangan Vaksin

Kamis, 20 Mei 2021 22:28 WIB
Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Ngozi Okonjo-Iweala. (Foto AFP)
Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Ngozi Okonjo-Iweala. (Foto AFP)

RM.id  Rakyat Merdeka - Perdebatan tentang pengabaian hak kekayaan intelektual (intellectual property/IP) pada vaksin Covid-19 masih berlanjut. Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Ngozi Okonjo-Iweala meminta masalah ini tidak dibiarkan berlarut-larut

Afrika Selatan dan India telah mendesak sesama anggota WTO untuk mengabaikan hak kekayaan intelektual atas vaksin demi meningkatkan produksinya.

Negara-negara miskin yang merupakan setengah dari populasi dunia hanya menerima 17 persen dosis. Situasi ini disebut Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)Tedros Adhanom Ghebreyesus vaccine apartheid.

Baca juga : Ini, 6 Pangkalan Udara Israel Target Serangan Rudal Palestina

Presiden Amerika Serikat Joe Biden sebelumnya mendukung gagasan penghapusan paten. Tetapi Uni Eropa (EU) dan penentang lainnya menyebut pengabaikan hak paten tidak akan meningkatkan produksi vaksin.

Berbicara di Parlemen Eropa, Kamis (20/5/2021), Dirjen WTO Ngozi Okonjo-Iweala menekankan, pengabaian hak paten atau hak kekayaan intelektual vaksin Covid-19 tidak akan cukup untuk mempersempit kesenjangan pasokan yang besar antara negara kaya dan miskin.

"Penghapusan paten saja tidak akan cukup. Untuk menyelesaikan masalah ketidakadilan akses ke vaksin harus menyeluruh. Ini bukan satu atau yang lain," kata dia seraya menambahkan, isu ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.

Baca juga : KKP Pastikan Tak Ada Izin Penangkapan Ikan Untuk Kapal Asing

Di tengah perdebatan itu, Komisi Eropa menilai ada cara yang lebih efektif untuk meningkatkan produksi, menggunakan aturan WTO, daripada pengabaian paten. Komisi itu mencatat negara-negara dapat memberikan lisensi kepada produsen untuk memproduksi dengan atau tanpa persetujuan pemegang paten.

Pekan lalu, Bolivia menandatangani kesepakatan dengan perusahaan Kanada Biolyse Pharma Corp untuk memproduksi vaksin Johnson & Johnson, yang akan membutuhkan Biolyse untuk mendapatkan otorisasi dari Johnson & Johnson atau "lisensi wajib" dari Kanada.

Okonjo-Iweala mengatakan, negara berkembang mengeluhkan proses perizinan yang rumit dan harus diperbaiki. Produsen harus bekerja untuk meningkatkan produksi, kata dia, merujuk pada kapasitas di Pakistan, Bangladesh, Indonesia, Thailand, Senegal, dan Afrika Selatan.

Baca juga : Koran Israel Akui Kemenangan Hamas Palestina

Pemimpin WTO perempuan pertama itu menambahkan, juga diperlukan transfer teknologi dan pengetahuan, karena vaksin seringkali lebih sulit untuk diproduksi daripada obat-obatan.

"Saya yakin bahwa kita dapat menyetujui teks yang memberi negara berkembang akses dan fleksibilitas semacam itu, sambil melindungi penelitian dan inovasi," kata Okonjo-Iweala, mantan Menteri Keuangan Nigeri.

Ngozi Okonjo-Iweala berharap pada Desember akan tercapai solusi pragmatis mengenai apakah akan mencabut hak paten vaksin covid-19 atau tidak. Sejauh ini, vaksin tersebut dipercaya menjadi salah satu upaya ampuh untuk mengurangi penyebaran virus mematikan itu dan menghentikan pandemi. [MEL]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.