Dark/Light Mode

China: Urusan Iklim Bisa Kepentok Fulus

Minggu, 31 Oktober 2021 23:33 WIB
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson. (Foto The Sunday Times/Jeremi Selwyn)
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson. (Foto The Sunday Times/Jeremi Selwyn)

RM.id  Rakyat Merdeka - Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson menyebut penanganan perubahan iklim terkendala karena komitmen para pemimpin dunia yang tidak serius. Kondisi ini, menurutnya, dapat berujung pada masalah global seperti migrasi massal hingga persaingan untuk mendapatkan pasokan air bersih dan makanan.

"Kita masih kurang serius. Keberhasilan kita menyelamatkan bumi tergantung dengan keseriusan kita," ujarnya sesaat tiba di Roma, Italia, untuk menghadiri pertemuan G20, Minggu (31/10).

Dalam pertemuan tersebut, Johnson bakal kembali menodong keseriusan negara berkembang dan negara maju untuk mengurangi emisi karbon dan menjalankan kegiatan yang ramah lingkungan. Dia mengatakan, semua orang perlu fokus pada apa yang telah dilakukan Inggris. 

Baca juga : Saatnya, Usung Visi Politik Hijau

Negeri Ratu Elizabeth itu mengambil konsep abstrak dari net zero yang dibahas di Paris, Prancis, enam tahun lalu. Dan, menerapkannya dalam kebijakan mengurangi penggunaan batu bara. Begitu juga dengan penggunaan mesin pembakaran internal.

Ditanya tentang pesannya untuk the 26th UN Climate Change Conference of the Parties (COP26) United Nation Climate Change Confrence ( COP 26 UNFCCC) di Glasgow, Johnson mengulangi peringatannya tentang konsekuensi peningkatan suhu bagi dunia.

“Jika anda meningkatkan suhu planet ini empat derajat atau lebih, anda akan mengakibatkan kelaparan, kekeringan, hilangnya habitat, krisis air, makanan, pergerakan besar orang. Itu adalah hal-hal yang secara politis akan sangat, sangat sulit dikendalikan," terangnya.

Baca juga : Kini Beli Pulsa Telkomsel Bisa Di Facebook

Berbeda dengan Johnson, Wakil Menteri Ekologi dan Lingkungan China, Ye Min, menilai perubahan iklim sulit dicapai karena kesulitan dana (fulus). Hal tersebut menurutnya, akan menjadi tantangan terbesar dalam pertemuan COP26.

Kepada Xinhua, Minggu (31/10), Ye Min mengatakan, pendanaan yang diberikan berkaitan dengan kepercayaan politik antarnegara. Tak hanya itu, kemampuan negara miskin untuk menangani masalah iklim juga turut menjadi pertimbangan pemberian dana.

"Keraguan akan dukungan negara maju pada negara berkembang menangani perubahan iklim, atau harus menyerahkan tanggung jawab dalam pengurangan emisi karbon pada negara berkembang, menjadi tantangan terbesar dalam proses perkembangan kerja sama multilateral," terang Ye Min.

Baca juga : Luhut Bolak Balik Ke Kantor Polisi

China merupakan penghasil 27% emisi global di dunia kini. Meskipun begitu,Negeri Tirai Bambu itu menyatakan, negara maju harus menanggung pengurangan sebagian besar emisi global karena jejak karbon yang mereka buat di masa lampau.

Pemerintah China berencana mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak (BBM) fosil hingga di bawah 20 persen pada 2060 mendatang. Tepatnya tiga hari menjelang KTT COP26 di Glasgow.

"Seperti yang ditegaskan Presiden Xi Jinping, untuk mengatasi perubahan iklim bukan atas permintaan orang lain tetapi atas inisiatif China sendiri. Ini yang perlu dilakukan China, serta memenuhi kewajibannya untuk membangun komunitas masa depan bagi umat manusia," tulis China dalam rencana, yang diserahkan ke PBB Kamis, 28 Oktober lalu. [DAY]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.