Dark/Light Mode

Mewaspadai Ketika Agama Menjadi Legitimasi Politik

Jumat, 22 September 2023 06:10 WIB
Nasaruddin Umar
Nasaruddin Umar
Tausiah Politik

RM.id  Rakyat Merdeka - Prof. L.W.H.Hull dalam History and Philosophy of Science, pernah mencatat bahwa pada permulaan abad ke-4 di Eropa, para penguasa bertindak untuk dan atas nama Tuhan melalui gereja, memegang otoritas hampir tak terbatas di dalam masyarakat.

Otoritas kebenaran sepertinya tidak boleh ada di luar gereja yang dikuasai para kaisar. Agama betul-betul menjadi stempel untuk membenarkan seluruh tindakan kaisar sehingga masyarakat tidak berdaya untuk menolak gagasan raja, karena penolakan bisa berarti malapetaka.

Bukan saja dunia ilmu pengetahuan mengalami degradasi, tetapi dunia kemanusiaan pun mengalami kemunduran. Ini terjadi karena persekongkolan antara raja dan gereja sebagai pemegang otoritas kekuasaan.

Sejarah seringkali berulang. Ketika sang penguasa memegang kendali agama dan digunakan sebagai kekuatan ekstra untuk melegitimasi kekuasaan, maka di situ akan terjadi bencana kemanusiaan yang mengerikan.

Baca juga : Peringatan Al-Qur`an (2)

Betapa tidak, manusia akan dipaksa tunduk di bawah otoritas penguasa. Siapapun yang berusaha membangkang dari otoritas itu bisa berarti malapetaka baginya.

Peristiwa yang menimpa Galileo yang harus menjadi tumbal dari kekejaman raja sering dijadikan contoh akan bahayanya jika agama menjadi stempel legitimasi penguasa.

Agama dan negara bisa saling mengontrol satu sama lain. Ketika agama dalam kontrol agama maka ketika itu negara subordinasi dari kekuatan agama seperti yang pernah ditampilkan sejumlah negara agama, seperti negara republik Islam Iran, Pakistan, Afganistan, dan negara-negara lainnya.

Sebaliknya, ketika negara mengontrol agama maka agama akan menjadi subordinasi kekuatan negara yang diwakili pemerintah.

Baca juga : Peringatan Al-Qur`an (1)

Yang terakhir ini bisa terjadi dua macam hal. Pertama, agama dirangkul dan dijadikan kekuatan legitimasi oleh penguasa untuk meraih loyalitas dan dukungan. Kedua, agama dijadikan target atau sasaran kebijakan, dan sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk memperoleh eksistensi dan pengaruh luas di dalam masyarakat, karena agama dianggap sebagai rival yang juga menuntut loyalitas masyarakat.

Ketika sebuah rezim memperalat agama sebagai kekuatan legitimasi untuk mengukuhkan kekuasaan, maka pada saat itu agama akan tampil dengan wajah garang. Ini mengingatkan kita ketika paruh pertama rezim Orde Baru yang mengontrol agama sedemikian kuatnya. Seolah-olah agama, khususnya Islam, menjadi bagian dari ancaman strategis nasionalisme yang perlu dimata-matai.

Berbagai akronim menakutkan ikut mengambil bagian, seperti komando jihad, kelompok fundamentalis, aliran sesat, NII, dan akronim lainnya. Aktifis agama seringkali diperhadapkan dengan institusi negara yang menakutkan seperti zaman Orde Baru ada Kopkamtib yang pernah memiliki kewenangan amat luas itu.

Yang ideal sebenarnya ialah agama menjadi partner aktif pemerintah di dalam mewujudkan cita-cita NKRI.

Baca juga : Fenomena New Consciousnes (2)

Idealnya, agama (baca: Syari’ah) tidak ditarik ke dalam tataran yang lebih formal-praktis, sehingga riskan untuk dipergunakan oleh kelompok-kelompok tertentu yang memiliki kepentingan subyektif, yang pada akhirnya nilai-nilai agama dipolitisir untuk mencari dukungan atau sebaliknya mencekal lawan-lawan politinya.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.