Dark/Light Mode

Festival Monolog Di Tepi Sejarah 2023, Ari Sumitro Tampil Apik Perankan Tirto

Sabtu, 23 Desember 2023 08:42 WIB
Pemeran Tirto Adhi Soerjo, Ari Sumitro, saat mementaskan Pentas Tirto: Tiga Pengasingan di Teater Salihara, Rabu (20/12/2023). Foto: Istimewa
Pemeran Tirto Adhi Soerjo, Ari Sumitro, saat mementaskan Pentas Tirto: Tiga Pengasingan di Teater Salihara, Rabu (20/12/2023). Foto: Istimewa

RM.id  Rakyat Merdeka - Titimangsa dan KawanKawan Media bekerja sama dengan Direktorat Perfilman, Musik dan Media Kemendikbudristek menggelar pertunjukan bertajuk Di Tepi Sejarah musim ketiga.

Berbeda dengan sebelumnya, Di Tepi Sejarah musim pertama dan kedua ditayangkan daring di kanal Indonesiana TV. Di Tepi Sejarah musim ketiga, yang juga rangkaian festival monolog bulan Desember, digelar secara langsung di Teater Salihara, Rabu (20/12/2023).

Di Tepi Sejarah ini seri monolog yang menceritakan tentang tokoh-tokoh di tepian sejarah, yang kurang disadari kehadirannya dan tersisih dalam catatan besar sejarah bangsa. Namun menjadi bagian dalam peristiwa penting yang terjadi di Indonesia.

Salah satunya, adalah Pentas Tirto: Tiga Pengasingan diambil berdasar biografi dan karya R.M. Tirto Adhi Soerjo. Menyajikan monolog tiga masa dalam riwayat hidup tokoh perintis pers Indonesia ini di pengasingan.

Pertama, 1910, sekitar masa pembuangan Tirto di Telukbetung karena didakwa menghina Aspirant Controleur Purworejo dan Wedana Cangkrep dengan kata-kata snot aap atau monyet ingusan.

Baca juga : Andrey Rublev Tak Berdaya

Kedua, 1913, masa pembuangan di Ambon karena dituduh menghina Bupati Rembang, Adipati Djojodiningrat. Ketiga, 1918, masa menjelang (dan saat) kematiannya yang mengenaskan. Melalui tiga masa tersebut, lakon ini melihat sisi-sisi manusiawi dari riwayat tokoh besar ini. Dia dianugerahi gelar sebagai Bapak Pers Indonesia dengan warisan berupa surat kabar Medan Priyayi.

Putu Fajar Arcana, sutradara pentas menyatakan tantangan terbesar dalam memanggungkan Tirto, sebagai sebuah ode yang dijalin dalam upaya memuliakan seorang tokoh melalui pendekatan estetik tertentu, yakni tidak terjerumus ke dalam kubangan yang absurd.

Sebab bagaimana pun, Tirto adalah tokoh sejarah yang pernah hidup dan itu tertulis dalam karya-karya yang dia tinggalkan. "Jadi, ode tentang Tirto ini tetap berusaha memberi ruang kepada sejarah sebagai sebuah kisah," tuturnya.

Penulis naskah, Ibed S. Yuga memaparkan, untuk memperlihatkan sisi manusiawi Tirto Adhi Soerjo. Sisi ini dibedah untuk menunjukkan bahwa di dalam nama besar seorang pejuang besar, terdapat ruang-ruang rapuh, masa-masa kritis, yang menjadi bagian holistik dari sejarah seorang pejuang besar.

Pemeran Tirto, Ari Sumitro merasa terhormat bisa memerankan tokoh pujaan, Tirto Adhi Soerjo. Seorang dengan pemikiran sangat maju pada masanya.

Baca juga : Setan Merah Gagal Pertahankan Gelar

"Cita-citaku sebagai jurnalis akhirnya terwujud, meskipun dalam sebuah panggung teater. Jadi tanggung jawab peran ini harus saya selesaikan dengan penuh semangat, penuh energi, dedikasi dan dengan segenap cinta," ungkap Ari.

Memainkan peran tokoh besar seperti Tirto dengan segala cita-cita dan pemikirannya untuk bangsa ini, baginya amat berat dan memacu adrenalin.

Dengan durasi latihan 3 bulan, ia harus mengunyah seluk-beluk Tirto, masa lalunya, masa kecilnya, dewasa, silsilah keluarganya, pijakan-pijakan dari pemikirannya, dan tentu bagaimana tindakannya dalam mengeksekusi pemikiran-pemikirannya.

Kata Ari, butuh konsentrasi lebih, terlebih membagi waktu latihan dengan aktivitas lain, menghafal naskah, menentukan blocking dan permainan.

Ada energi yang perlu dibesarkan, tidak hanya dari diri sendiri, tapi juga dari segenap tim yang terlibat, sutradara, para penata dan crew, bahkan tim produksi dan chef yang memperhatikan menu untuk asupan gizi.

Baca juga : Jadwal Final French Open 2023, 2 Wakil Indonesia Tampil, Ini Link Streamingnya

"Saya sebagai tangan keempat dalam penyampaian pemikiran Tirto punya tanggung jawab menyampaikan ke penonton dengan jernih dan lugas," ujar Ari.

Pemikiran melalui tulisan Tirto dan beberapa sumber lain, diracik penulis naskah, menjadi sebuah monolog yang padat berisi. Kemudian melalui sudut pandang sutradara diwujudkan dalam panggung.

Dia harus bisa menyampaikan pikiran Tirto dengan jernih dan lugas. Bagaimana Tirto membagi dua konsepsi dalam pandangannya, yaitu bangsa terperintah (rakyat jelata, kaum hindia belanda) dan bangsa pemerintah/yang memerintah (para priyayi, pejabat dan kolonial).

Meskipun Tirto gagal sebagai dokter, yang membuatnya tidak bisa mengentaskan penderitaan rakyat secara fisik (penyakit). Tapi dengan menjadi jurnalis dia mampu mengobati penderitaan rakyat (ketertindasan dan kebodohan).

"Saya sebagai aktor menjadi ujung pena untuk menyampaikan pada penonton. Proses itu harus benar-benar tertata dan dilatih dengan detail," ceritanya.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.