Dark/Light Mode

Catatan Givary Muhammad: Merasakan Karantina Di Ujung New York (Bagian 1)

Wisuda Mei, Entah Gimana Jadinya...

Sabtu, 4 April 2020 06:36 WIB
Kartu panduan mencegah penyebaran virus Corona, yang dibagikan pemerintahan Trump kepada warga Amerika. (Foto: Givary Muhammad)
Kartu panduan mencegah penyebaran virus Corona, yang dibagikan pemerintahan Trump kepada warga Amerika. (Foto: Givary Muhammad)

 Sebelumnya 
Lockdown di New York dampaknya sungguh berarti. Tetapi, jangan bayangkan lockdown di sini seketat di Wuhan, China. Sangat berbeda. Tidak ada aparat hukum berjaga-jaga di jalanan, atau gang.

Memang sempat ada wacana perlunya polisi berpatroli atau turun ke jalanan, untuk men-screening warga New York yang bepergian ke luar rumah.Tetapi, itu tidak terjadi. Di jajaran politikus dan pembuat kebijakan, perdebatan istilah juga ramai.

Ada yang menolak mentah-mentah frasa “lockdown” untuk menghindari panik massal. Di negara bagian Washington dan California misalnya, menggunakan istilah lockdown. Tetapi di New York, mereka menyebutnya “New York on Pause” meski aturan yang digunakan mirip-mirip saja.

Sejak “on Pause” diberlakukan, pusat keramaian di New York City, yakni Times Square, Manhattan dan sekitarnya, senyap. Apalagi di tempat saya tinggal, Buffalo, langsung shutdown, seperti tak berpenghuni.

Dari New York City, butuh tujuh jam berkendara untuk mencapai Buffalo. Ini adalah kota terbesar kedua di New York State. Hampir ujung dari negara bagian New York. Bahkan, tinggal sepelemparan batu saja, ke Kanada.

Sejak lockdown, jalanan dan taman-taman serta pusat kota Buffalo sepi sekali. Jalur subway dan kereta yang menghubungkan bagian utara ke selatan kota Buffalo, berhenti.

Baca juga : Mahfud Meluruskan, Karantina Kewilayahan Beda dengan Lockdown

Air terjun Niagara, areal wisata paling terkenal yang letaknya tak jauh dari Buffalo Airport, nyaris tak ada lagi pengunjungnya.

Di kota ini, saat artikel ditulis, tercatat ada 2 orang korban meninggal akibat positif Covid-19 dan 250 orang terinfeksi.

Kampus SUNY at Buffalo, tempat saya kuliah, adalah pusat pendidikan terbesar di kota ini, sekaligus pusatnya keramaian. Seminggu sebelum on pause, di kampus beredar kabar, ada dua mahasiswa terinfeksi Corona. Yang satu, sepulang perjalanan dari Italia. Satu lagi terinfeksi tanpa diketahui penyebabnya, dan harus dikarantina dua pekan.

Sejak itu, kampus, perpustakaan, laboratorium, enam tower asrama mahasiswa ditutup. Semua diminta pulang ke rumah masing-masing. Hanya mahasiswa internasional atau non-USA yang masih boleh tinggal di situ.

Sistem perkuliahan menerapkan distance learning atau kuliah online. Suasana di luar kampus, sama heningnya. Perkantoran tutup. Hanya pusat perbelanjaan dan apotik yang buka. Sedangkan restoran dan coffee shop boleh buka untuk melayani pesan antar, atau dibawa pulang.

Kegiatan keagamaan di gereja dan sinagog pun, diadakan secara live streaming.

Baca juga : Mantan Dirut Pertamina Persoalkan Perhitungan Kerugian Negara Oleh Akuntan

Saya tinggal di apartemen luar kampus, sekitar 10 menit jalan kaki ke tempat kuliah. Teman satu unit di apartemen, semuanya tiga orang, berdomisili di New York, memilih pulang. Tak apalah, saya sendirian.

Mahasiswa Indonesia di kampus ini jumlahnya tak sampai 10 orang. Semuanya, memilih tetap tinggal. Meski lockdwon, hampir dua pekan ini, namun jadwal saya tak banyak berubah. Jam untuk kelas perkuliahan dan bekerja tetap sama.

Pagi, sore, dan malam kuliah online. Diselingi siang, jadwal kerja di rektorat. Bedanya, semua dilakukan online. Tak ada tatap muka langsung. Dulu ke kampus, kini sepanjang hari di apartemen.

Kuliah dan kerja, depan laptop, di meja belajar, atau di meja makan. Kadang bosan juga sih. Di sela kuliah, kami terbiasa kongkow di Student Union, semacam pusat kegiatan mahasiswa.

Kini, kongkow pun berubah online. Ngobrol via video call, sambil ngopi dari kediaman masing-masing.

Bagi kami, mahasiswa semester akhir, dampak pandemi Virus Corona ini cukup menyedihkan. Upacara wisuda yang awalnya dijadwalkan Mei, kemungkinan dilakukan secara online. Sampai kini belum ada keputusan dari Universitas. Entah bagaimana nanti bentuk upacara wisudanya.

Baca juga : Ini Tips Atasi Nafsu Makan Meningkat Saat WFH

Tentu ada rasa sedih, jika saat wisuda nanti, kami tidak memakai baju toga, dan hanya menyaksikan pidato Rektor secara live streaming.

Ada juga sih, yang punya ide unik. Katanya, bagaimana kalau kami tetap pakai baju toga, lalu live streaming dari kediaman masing-masing, ditayangkan di media sosial kampus.

Mungkin, itu akan jadi upacara wisuda paling unik, sekaligus paling bersejarah sepanjang masa. (Bersambung)

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.