Dark/Light Mode

Gus Yahya, Sang Anak Perubahan

Selasa, 21 Desember 2021 17:52 WIB
Bedah buku Biografi KH Yahya Cholil Staquf: Derap Langkah dan Gagasan di Kantor Harian Umum Lampung Post, Selasa (21/12)/Ist
Bedah buku Biografi KH Yahya Cholil Staquf: Derap Langkah dan Gagasan di Kantor Harian Umum Lampung Post, Selasa (21/12)/Ist

RM.id  Rakyat Merdeka - Buku Biografi Calon Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf dengan judul “Biografi KH Yahya Cholil Staquf: Derap Langkah dan Gagasan” dibedah di Kantor Harian Umum Lampung Post, Selasa (21/12).

Acara bedah buku biografi Kiai karismatik ini dihadiri KH Yahya Cholil Staquf yang saat ini menjabat Katib Aam PBNU, Ahli Sejarah Islam dan PCNU Jerman D. Zacky Khairul Umam, Akademisi UIN Raden Intan, Lampung Dr Safari Daud dan Penulis Buku Septa Dinata.

KH Yahya Cholil Staquf atau yang biasa disapa Gus Yahya menjelaskan tiga hal penting yang menggambarkan dirinya saat ini. Pertama, bagian dari anak perubahan, kedua anak NU dan ketiga anak Gusdur.

Gus Yahya menggambarkan dirinya sebagai anak perubahan, mengingat konteks saat dirinya dilahirkan dihadapkan oleh dinamika perubahan yang luar biasa. Dirinya tidak menempuh pendidikan lewat pesantren, tetapi pada sekolah umum.

“Kalau saya harus menggambarkan diri, menggambarkan sejarah hidup, saya harus katakan pertama-tama adalah anak perubahan. Saya lahir dan tumbuh di tengah-tengah dramatis. Setidak-tidaknya dalam persepsi saya, terutama perubahan dalam konteks pesantren dan NU,” cerita Gus Yahya.

Kata dia, pada tahun 1960-an, 1970-an dan 1980-an itu sangat dramatis, karena itu sebagai momentum perubahan yang terkait dengan NU dan dunia Pesantren, serta bertabrakan dengan skenario politik dari penguasa.

Pertama, karena NU ini harus bertabrakan dengan skenario politik dari penguasa yang sangat kuat. Jadi harus melepaskan diri sebagai partai politik untuk bergabung befusi dengan partai-partai Islam lain di dalam PPP pada awal Orde Baru.

Baca juga : Catat Ya, 3 WNA Di Manado Tak Terpapar Omicron

Mantan Juru Bicara Presiden Abdurahman Wahid alias Gus Dur ini menceritakan, tahun 1970-an merupakan yang paling dramatis dari bertemunya dunia pesantren yang tradisional dengan realitas modern.

Yaitu, ketika negara sebagai agen dari modernitas ini semakin dalam cengkramannya kepada masyarakat, termasuk institusi sosial yang ada dalam pesantren.

“Nah, saya tumbuh di tengah-tengah perubahan psikologi ini. saya merasakan secara mental juga mengalami perubahan dramatis tentang bagaimana cara saya memandang realitas, dan menanggapi realitas itu. Maka sekali lagi, saya gambarkan diri saya adalah pertama-tama anak perubahan,” papar Gus Yahya.

Gus Yahya mengaku, turunan asli NU. Orang tua hingga kakeknya adalah pentolan NU dan dia dibesarkan di lingkungan NU sejak masih kecil hingga dewasa.

Gus Yahya lahir di tengah-tengah keluarga NU. Kakeknya adalah Rois syuriah pengurus wilayah NU Jawa Tengah dan ayahnya adalah pemimpin cabang gerakan Ansor Rembang. Kemudian pada masa kecil, ayahnya naik karier menjadi ketua cabang NU.

“Saya ini memang anak NU. Sebagian besar pergulatan mental saya, kalau saya berpikir tentang dunia kehidupan saya itu nyaris tidak ada elemen-elemen yang tidak terkait dengan NU,” akunya.

Lebih lanjut, Gus Yahya menganggap dirinya sebagai anak Gus Dur. Karena semenjak mengenal Gus Dur secara pribadi, maka pikiran-pikiran pergulatan mentalnya terkait NU ini selalu merujuk kepada Gus Dur. Bahkan, faktor Gus Dur menjadi salah satu alasan dirinya maju menjadi Ketua Umum PBNU.

Baca juga : Gus Jazil: Tahun Politik Jangan Bikin Rakyat Pecah 

Sebagai anak perubahan, anak NU dan anak Gus Dur, Gus Yahya lebih cenderung berpikir dalam kerangka gerakan sosial ketimbang keterlibatan intelektual dan akademis.

“Jadi kalau tadi menyebut bagaimana menggabungkan wacana tradisional dengan modern antara kitab-kitab kuning dengan kitab putih, ya saya mengikuti pergulatan di sekitar itu,” katanya.

  Namun, ketertarikannya cenderung aspek gerakannya. Bagaimana NU ini sebagai gerakan sosial bisa lebih efektif kerja yang lebih baik untuk merespons berbagai masalah.

Sementara, Septa Dinata menerangkan latar belakang menulis buku biografi Gus Yahya. Hal ini tak lepas dari sejarah dan akumulasi peran agen-agen dan interaksinya di dalam masyarakat.

Sebaliknya, karakter agen yang ada di dalam masyarakat juga ditentukan oleh sejarah yang mewujud menjadi struktur sosial.

Karena itu, ulasan buku ini menjelaskan dulu konteks struktural. Di bagian pertama, Septa mencoba meneropong kultural setting, di mana Gus Yahya ini lahir.

“Kami Letakkan di situ konteks kelahiran beliau di cultural setting dan beliau mewarisi darah ulama-ulama besar. Mulai dari buyut, kakek beliau di Leteh juga ulama besar mubalig, politisi dan penulis yang hebat,” kata Septa.

Baca juga : Nyonya Tua Tetap Peluk Dybala

Dalam bukunya, Septa mengulas sosok Gus Yahya yang merupakan hasil dari interaksi dari lingkungan. Dialektika antara dirinya dan struktur sosial yang lebih luas memiliki hubungan timbal balik dalam pembentukan kepribadiannya.

Menurut Septa, keluarga sebagai primary atau nuclear element di dalam masyarakat memiliki peran utama dalam membentuk seseorang. Gus Yahya tumbuh dan besar dalam lingkungan pesantren.

Selain ayahnya yang dikenal sebagai ulama besar, Gus Yahya juga sangat diuntungkan dengan sosok lain dalam keluarganya, yaitu kakeknya KH Bisri Mustafa dan pamannya KH Mustofa Bisri yang turut serta membentuk dirinya. “Dalam diri Gus Yahya mengalir darah ulama-ulama besar.” ujar Septa

Gus Yahya merupakan putra pertama KH Muhammad Cholil Bisri. Kiai Cholil dikenal dikenal luas keulamannya, terutama dalam kalangan Nahdliyin. Dia wafat pada 2004 ketika usianya 62 tahun.

Menurut Septa, Kiai Cholil banyak menghabiskan masa kecilnya di pengungsian karena keterlibatan ayahnya dalam dinamika politik saat itu.

“Dia banyak menyaksikan perjuangan Laskar Hisbullah karena pada saat itu ayahnya, KH Bisri Mustafa, turut serta bersama santri-santri lainnya mengangkat senjata,” ungkapnya.

Sementara, Kakeknya Gus Yahya atau ayahnya Kiai Cholil adalah putra pertama dari KH Bisri Mustafa –seorang kiai dengan multitalenta: penyair, politisi, orator ulung dan penulis. [REN]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.