Dark/Light Mode

Rais Syuriyah PBNU Gus Ghofur

Umat Islam Indonesia Bisa Puasa & Lebaran Bareng, Asal Penuhi Syarat Ini

Minggu, 24 April 2022 21:34 WIB
KH Abdul Ghofur Maimoen (Foto: NU Online)
KH Abdul Ghofur Maimoen (Foto: NU Online)

RM.id  Rakyat Merdeka - Menjaga kebersamaan lebih penting ketimbang pendapat pribadi.

Inilah pesan yang ingin disampaikan Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Ghofur Maimoen atau Gus Ghofur kepada umat Islam di Indonesia, terkait perbedaan penentuan awal Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri.

Dia menyampaikan harapan banyak masyarakat Indonesia, yang menginginkan kesamaan waktu dalam berpuasa dan berlebaran.

Menurut Gus Ghofur, hal itu bisa terwujud jika tokoh-tokoh agama memiliki kerendahan hati.

Rendah hati di sini dalam artian, ketika para tokoh memegang ijtihad yang dilakukannya, itu bukanlah kebenaran mutlak yang harus dipertahankan mati-matian. Sehingga, harus mengorbankan kebersamaan umat, yang tentu saja jauh lebih penting.

Gus Ghofur lantas mengisahkan sebuah teladan dari Negeri Mesir. Saat ia menjadi salah satu santri Syekh Prof Musa Syāhīn Lāsyīn, guru besar bidang Hadits di Al-Azhar.

"Pagi itu adalah awal Ramadhan. Saya ke kampus dan masuk di ruang perkuliahannya. Dia bertanya kepada santri-santrinya, kapan memulai puasa Ramadhan. Tentu saja, kami memulai puasa di hari itu. Tak ada tradisi berbeda memulai puasa di sini. Semua seragam, sesuai dengan pengumuman Pemerintah,” tulis Gus Ghafur dalam akun media sosialnya, Minggu (24/4), seperti dikutip NU Online.

“Hal yang tak saya duga, tiba-tiba dia menyampaikan bahwa menurutnya, puasa Ramadhan seharusnya dimulai kemarin. Sesuai perhitungan hisab. Ia tampak lebih menyetujui metode hisab ketimbang rukyah. Namun, pemerintah mengumumkan puasa hari ini. Dan ia lebih memilih mengikutinya, ketimbang mempertahankan pendapat pribadinya,” imbuhnya, terkait pandangan sang guru yang bersahaja, dengan berbagai karya populer seperti Fatḥ al Mun’īm fī Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim dan Al Mahhal al Ḥadīṡ fī Syarḥ Aḥādīṡ al Bukhāriyy ini.

Baca juga : BPKH Optimis Jemaah Haji Indonesia Bisa Berangkat Tahun Ini

Sikap dan pandangan Syekh Musa pun dituliskan dalam Fatḥ al Mun’īm fī Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim yang tampak sangat jelas membela metode hisab.

Namun pada akhir penjelasannya, Syekh Musa menyatakan bahwa pada akhirnya masyarakat diharuskan mengikuti keputusan hakim (pemerintah).

Hakim lah yang kelak akan mempertanggungjawabkannya di depan Allah, mengenai ijtihad dan keputusannya.

Selain yang melihat hilal, yang pengguna hisab harus mengikuti pemerintah.

“Mahasiswa Indonesia di Mesir beragam latar-belakangnya. Mungkin kebanyakan mereka berafiliasi pada organisasi-organisasi besar di Nusantara. Selama di Mesir, tak pernah saya mendengar ada friksi hisab-rukyah. Apa pun keputusan pemerintah diikuti oleh semuanya. Tak ada yang mempersoalkan metode yang digunakannya,” ungkap Gus Ghofur.

Hal ini juga terjadi pada jamaah haji Indonesia saat berada di Arab Saudi. Dengan latar belakang yang sangat beragam, semua jamaah Indonesia juga patuh menjalankan keputusan pemerintah Saudi dalam penentuan wukuf di Arafah.

Secara sederhana, kata Gus Ghofur, hal tersebut dapat kita pahami. Bahwa mereka sebetulnya meyakini bahwa keputusan yang diambil oleh pemerintah Mesir dan pemerintah Saudi, dapat dibenarkan dan sah diikuti.

Meski, mungkin tidak sama dengan pendapat pribadi sebagian mahasiswa dan jamaah haji.

Baca juga : Gus Muhaimin Yakin Indonesia Mandiri Protein dan Karbohidrat

"Tampaknya, pendapat pribadi saat di luar negeri tidak tersemai dalam tanah yang subur. Sehingga, tidak muncul,” jelas Gus Ghofur.

Ia pun memaparkan pendapat Syekh Yusuf Al Qardhawi dalam bukunya, Aṣ Ṣaḥwah al Islāmiyyah baina al Ikhtilāf al Masyrū’ wa at Tafarruq al Mażmūm yang membagi perbedaan pendapat ke dalam dua kategori.

Pertama, perbedaan pendapat dengan latar belakang khuluqiyyah atau berlatar belakang akhlak.

Kedua, perbedaan pendapat dengan latar belakang fikriyyah atau murni sudut pandang pemikiran.

"Perbedaan pertama sangat tercela. Ia lahir dari kesombongan, membanggakan diri, fanatik terhadap tokoh atau kelompok dan organisasi tertentu," ucap Gus Ghofur.

Untuk menghindari hal itu, Gus Ghofur menekankan pentingnya kerendahan hati.

Sementara perbedaan kedua, lahir dari berbagai sudut pandang, kecenderungan berpikir dan orientasi diri.

"Semoga, perbedaan yang terjadi selama ini murni perbedaan fikriyyah. Bukan khuluqiyyah,” harapnya.

Baca juga : Insya Allah, Bisa Mudik Lebaran Bareng-bareng

Gus Ghofur juga menukil salah satu pernyataan KH Maimoen Zubair, dalam kitab Nuṣūṣ Al Akhyār halaman 19.

Kitab ini merupakan karya KH Maimoen Zubair yang berisi teks-teks dari ulama-ulama terbaik, dengan berbagai komentar dari beliau.

“Salah satu komentarnya adalah bahwa menyatukan umat Islam dalam puasa, idul fitri dan syiar-syiar lainnya adalah tuntutan abadi. Minimal, harus ada upaya serius untuk menyatukan umat Islam dalam satu wilayah," beber Gus Ghofur.

Dia pun mencontohkan, dalam satu wilayah, sebagian umat puasa hari Kamis karena beranggapan telah masuk Ramadhan.

Sebagian lainnya masih berbuka, karena beranggapan masih berada di bulan Sya’ban. Ini adalah kenyataan yang tak boleh diterima.

 “Kemudian di akhir Ramadhan, sebagian masih puasa dan sebagian lainnya telah berlebaran. Ini juga kondisi yang tak boleh diterima. Salah satu kesepakatan ulama adalah bahwa keputusan hakim atau waliyyul amri menghapus perbedaan pendapat,” pungkasnya. [HES]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.