Dark/Light Mode

Pintar, Guyub dan Guyon, 3 Resep untuk Hindari Radikalisasi

Jumat, 4 Agustus 2023 16:35 WIB
Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) Septiaji Eko (Foto: Istimewa)
Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) Septiaji Eko (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Derasnya arus informasi menjadi kelaziman di kehidupan masyarakat era modern. Kemampuan berpikir kritis dan logis menjadi mutlak dalam mencerna dan menyimpulkan konten yang bertebaran di dunia maya. Dengan mengedepankan nalar, isu-isu yang bisa memicu polarisasi dan radikalisasi bisa dihadapi dengan santai.

Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) Septiaji Eko Nugroho menjelaskan, saat ini media sosial menjadi salah satu saluran utama informasi bagi masyarakat. Perubahan perilaku masyarakat yang semakin sering mengkonsumsi informasi melalui media sosial membawa fenomena unintended consequences atau akibat yang sebelumnya tidak diperkirakan.

“Logikanya, seharusnya kalau orang mengakses media sosial, akses informasi menjadi tidak terbatas. Dan pada akhirnya bisa memiliki wawasan yang luas dan mampu melihat dari berbagai perspektif. Tetapi faktanya tidak demikian, justru yang terjadi malah sebaliknya,” ujar Septiaji, dalam keterangan yang diterima redaksi, Jumat (3/8).

Ia menjelaskan, ketika suatu konten berisi muatan yang eksploitatif dan berasal dari kalangan yang punya latar belakang radikalisme, bisa dianggap mereka sedang menebar perangkap pemikiran agar siapa pun yang membaca bisa terhasut. Di situlah terjadi radikalisasi terhadap masyarakat.

Baca juga : Akal Sehat Kunci Hindari Radikalisisasi di Dunia Digital

"Masyarakat yang memiliki semangat tinggi tetapi tidak punya latar belakang agama yang kuat, rentan termakan dengan narasi atau kemasan kaum radikal di media sosial. Pengusung radikalisme sangat pandai membentuk citra perjuangannya, baik dari sisi visual maupun diksi,” imbuh Septiaji. 

Alumni Institut Teknologi Bandung dan Technische Universitaet Muenchen ini menambahkan, ketika orang sudah merasa nyaman dan menganggap seolah telah menemukan jalannya, dia menutup diri dari informasi-informasi yang lain. Di situlah proses radikalisasi terjadi. Kemungkinan besar dia akan percaya dengan apa pun yang disajikan di kelompok itu.

"Orang yang terpapar akan cenderung menolak berita dari kelompok lain. Itulah yang disebut dengan echo chamber effect," imbuhnya.

Namun, masyarakat tidak perlu khawatir. Septiaji percaya, segala masalah terkait dengan polarisasi yang menimbulkan sudut pandang ekstrem bisa dicegah selama punya semangat untuk menyikapi berbagai persoalan itu dengan tiga hal. 

Baca juga : Pilih Cawapres, Ganjar dan Anies Banyak Syaratnya

“Pertama adalah pintar. Pintar itu artinya punya kemampuan untuk menyeleksi informasi mana yang fakta atau fiktif, mana yang serius atau tidak, mana informasi yang bersumber otoritatif dan kredibel atau tidak,” terangnya.

Kedua adalah guyub. Kalau masyarakat bisa guyub, akan sering berinteraksi dengan berbagai kalangan.

"Meskipun dia punya keyakinan yang sangat kuat, dia juga terlatih untuk menghargai perbedaan terhadap orang lain. Secara akidah dia bisa kuat dan secara muamalah dia juga baik. Sifat guyub ini juga akan melindunginya dari berbagai macam upaya radikalisasi,” terangnya.

Ketiga adalah guyon. Orang-orang yang suka guyon itu akan cenderung lebih imun dan kebal dari upaya radikalisasi.

Baca juga : Pandawa Ganjar Lakukan Baksos Dan Serahkan Tempat Sampah Untuk Warga Di Makassar

"Kalau terbiasa dengan srawung atau berkumpul dengan orang lain dan bercanda, maka upaya radikalisasi itu akan sering bertemu dengan jalan buntu. Pintar, guyub, dan guyon. Saya rasa ketiganya adalah resep yang bisa kita gunakan, terapkan, dan tularkan, supaya masyarakat tidak mudah menjadi korban hasutan dan radikalisme,” jelas Septiaji.

Ia berharap, anak-anak muda Indonesia bisa rasional, tidak hanya dalam ilmu tertentu saja, tetapi juga ketika menghadapi sebuah informasi. Rasionalitas ditandai dengan bagaimana seseorang memiliki kesadaran untuk melakukan cross-check atau tabayyun pada sumber informasi pembanding. Semakin seseorang sempit pergaulannya, kecenderungan termakan atau terhasut dengan konten radikalisme akan lebih tinggi.

Menyikapi masifnya konten radikal yang terdapat di internet, ia mendorong para generasi muda Indonesia untuk giat menghasilkan konten moderat. Hal ini ditujukan supaya kalau ada yang mencari informasi di internet, maka yang paling mudah diakses adalah informasi-informasi dari pandangan yang moderat, bukan yang radikal. 

“Jadi harus ditenggelamkan pandangan-pandangan radikal itu dengan cara memperbanyak, memperbaiki, dan membuat konten-konten yang mengajak masyarakat menjadi lebih moderat. Saya rasa mulai banyak juga konten-konten moderat yang menyenangkan, asik, dan menghibur dari berbagai kanal dan komunitas. Hal ini tentunya sangat baik karena mengemas ajakan agar masyarakat tetap waspada, tetapi dengan cara yang asik,” terang Septiaji.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.