Dark/Light Mode

Kenapa Paksakan Kehendak Perppu KPK? Negara Tidak Genting

Sabtu, 28 September 2019 09:50 WIB
Indriyanto Seno Adji. (Foto: ist)
Indriyanto Seno Adji. (Foto: ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - Desakan agar Presiden Jokowi menerbitkan Perppu KPK sungguh mengherankan. Negara dalam keadaan tidak genting, KPK juga sudah sepantasnya diperbaiki. Jadi, untuk apa memaksa-maksakan kehendak agar lahir Perppu KPK?.

Eks Plt Pimpinan KPK, Indriyanto Seno Adji membeberkan, penerbitan Perppu haruslah memenuhi syarat konstitusional dalam UUD 45 dan syarat yudisial, yakni Putusan MK. "Karenanya Presiden hanya bisa menerbitkan Perppu dalam hal adanya kegentingan yang memaksa," ujar Indriyanto kepada Rakyat Merdeka, semalam.

Kegentingan itu diartikan, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kemudian, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Lalu, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Jadi, dalam kaitan Revisi UU KPK, Presiden bukan dalam kapasitas menerbitkan Perppu. "Sehingga Presiden diharapkan tidak terjebak melanggar konstitusi dan hukum untuk menerbitkan Perppu," imbau Indriyanto.

Baca juga : Mensesneg Siapkan Draft Perppu UU KPK

Saran menerbitkan Perppu disebutnya adalah solusi menyesatkan. Sebab, penerbitan Perppu secara substansial melanggar konstitusi dan hukum.

Indriyanto mengungkapkan, jalan terbaik sesuai hukum adalah memberikan solusi hukum melalui permohonan uji materil ke MK. "Presiden dapat menunggu putusan MK terhadap Uji Materil Revisi UU KPK yang mulai Senin depan ini disidangkan oleh MK," tandasnya.

Hal senada dikatakan Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah. Menurutnya, Perppu bisa dikeluarkan oleh Presiden Jokowi jika memang kondisinya darurat. Namun, yang saat ini darurat adalah tidak ada tanda-tanda penyelesaian permasalahan korupsi di negeri ini, setelah 17 tahun Undang-Undang Pemberantasan Korupsi disahkan oleh DPR bersama pemerintah.

“Maka kita bisa mengatakan ada kedaruratan, seperti kita memiliki wabah penyakit yang 17 tahun tidak sembuh-sembuh, tidak hilang,” ujar Fahri kepada Rakyat Merdeka, tadi malam.

Baca juga : Kecewa, Mahasiswa Nyatakan Mosi Tidak Percaya Kepada DPR

Jika Perppu diterbitkan, Fahri meminta isinya membentuk KPK yang mengedepankan pencegahan korupsi seperti di Korea Selatan. Di Negeri Ginseng itu, institusi-institusi negara di seluruh daerah digabungkan untuk mengawasi fungsi-fungsi pelayanan masyarakat. Dari perizinan, administrasi, hingga tender. Tidak seperti KPK yang hanya ada di Jakarta.

Jika Perppu hanya mengembalikan kewenangan KPK seperti yang dulu, Fahri bilang, Indonesia bakal terpuruk lantaran sepi investasi. Sebab, KPK mengulangi kegagalan selama 17 tahun ini: banyak menangkap orang tetapi minim pencegahan. Analoginya, bak menembak hewan di kebun binatang. "Kalau kembali ke yang lalu, sudahlah, enggak ada orang-orang datang ke republik ini. Adanya orang mau datang nyolong SDA, itu yang terjadi sekarang kan," tegasnya.

Sekretaris Fraksi PDIP, Bambang Wuryanto menyebut, seharusnya RUU yang sudah disahkan menjadi undang-undang dibatalkan melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). "Saya bilang, constitusional law kita menyatakan kalau anda tidak sepakat undang-undang, masuk itu ke dalam MK. Judicial review di sana, bukan dengan Perppu," tegas Bambang di Gedung DPR, kemarin.

Dia khawatir, jika RUU KPK hasil revisi diselesaikan dengan Perppu, akan menjadi preseden buruk. Nantinya, setiap undang-undang yang menuai protes masyarakat akan selalu diselesaikan dengan Perppu. "Nanti one day (suatu hari) didemo lagi ganti lagi, Demo lagi ganti lagi. Susah," tuturnya.

Baca juga : Tidak Gampang Mengkafirkan Orang

Sekalipun begitu, Bambang menyatakan menghormati keputusan Presiden. Tapi dia juga meminta presiden menghormati DPR. "Silakan presiden punya pertimbangan sendiri, ngomong dengan pembantunya sendiri, kami anggota DPR punya otoritas sendiri," tandasnya.

Menteri Sekretaris Negara, Pratikno mengaku, sudah mengantisipasi kemungkinan Presiden Jokowi menerbitkan Perppu UU KPK hasil revisi. "Kami antisipasi apapun keputusan presiden dalam waktu beberapa hari ke depan," kata Pratikno.

Kendati demikian, Pratikno belum dapat memastikan kapan Jokowi akan memutuskan terkait penerbitan Perppu. Namun, pihaknya bertugas menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan keputusan presiden nantinya.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly enggan berkomentar terkait pertimbangan Presiden menerbitkan peraturan Perppu UU KPK. "Enggak tahu, saya terlambat tadi. Tanya Pak Presiden saja," katanya. [OKT]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.