Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

MS Shiddiq, Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia

Corona (Stu)vid-19 Dan Media Sosial

Senin, 13 April 2020 13:47 WIB
MS Shiddiq, Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Corona (Stu)vid-19 Dan Media Sosial

RM.id  Rakyat Merdeka - Presiden Joko Widodo (31/3/20) akhirnya menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Untuk mempertegas keseriusannya, Pemerintah menambah alokasi belanja dalam APBN 2020 sebesar Rp 405,1 triliun, dari yang semula hanya sebesar Rp 2.540,4 triliun.

Ada empat skema penting dalam penggunaan dana. Pertama, untuk pemulihan ekonomi sebesar Rp 150 triliun untuk pemulihan ekonomi nasional, termasuk restrukturisasi kredit dan penjaminan serta untuk pembiayaan UMKM dan dunia usaha. Kedua, sebesar Rp 75 triliun untuk bidang kesehatan meliputi perlindungan tenaga kesehatan, pembelian alat kesehatan, perbaikan fasilitas kesehatan dan insentif tenaga medis. Ketiga, sebesar Rp 110 triliun untuk jaringan pengaman sosial (Social Savety Net) mencakup penambahan anggaran kartu sembako, kartu prakerja dan subsidi listrik. Yang terakhir, sebesar Rp 70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus KUR. 

Perppu ini dan instrumen pendukungnya merupakan antitesa dari pro kontra sekaligus jawaban berbagai keraguan, kritik dan masukan berbagai pihak yang mengharapkan pemerintah segera membuat kebijakan yang tegas untuk mengatasi penyebaran virus corona.

Baca juga : Perangi Covid-19, Rasakan Penderitaan Indonesia

Histeria Massa

World Health Organization (WHO) mencatat, hingga akhir Maret 2020 grafik korban Covid-19 terus mengalami peningkatan. Dari 81.485 kasus, ada 164.726 orang yang dinyatakan sembuh dan 37.578 orang meninggal. 

Di Indonesia, ketika tulisan ini diturunkan, sumber www.Covid-19.go.id menyebutkan ada 1.642 kasus orang yang terpapar Covid-19, 136 orang dinyatakan meninggal, 81 sembuh dan 1.311 masih dalam perawatan. Seperti fenomena gunung es, boleh jadi kasus sebenarnya lebih besar dari yang bisa diidentifikasi. Sementara itu, semua daerah di Indonesia tampaknya mulai membuat kebijakan kewilayahan karena terjadi lonjakan pasien yang diduga terjangkit Covid-19.

Baca juga : Ara: Langkah Jokowi Realokasi Anggaran Negara untuk Atasi Covid-19 Sangat Tepat

Tulisan ini tak hendak mempersoalkan apa langkah taktis-strategis yang sudah diambil dan kesiapan Pemerintah Pusat bersama seluruh pemangku kebijakan, mulai dari tingkat kementerian, lembaga negara hingga level pemerintah provinsi, kabupaten dan kota seluruh Indonesia. Penulis mencoba memahami fenomena media sosial yang cenderung menambah masalah baru di tengah kegelisahan munculnya virus corona. 

Menurut Sosiolog Robert E. Bartholomew (2001) dan Psikolog Wolf M  (1976), histeria massa merupakan bentuk kegelisahan kolektif massa yang disebabkan fenomena penyebaran ilusi ancaman kolektif, entah nyata atau khayalan, kepada sekelompok orang dalam masyarakat sebagai akibat rumor dan ketakutan (pengetahuan ingatan). Ini yang terjadi dalam kasus Covid-19.

Dalam ilmu kedokteran, istilah ini sering dipakai untuk menyebut manifestasi spontan (produksi kimia dalam tubuh) dari gejala fisik histeria yang mirip atau sama dari lebih dari satu orang. Jenis umum dari histeria massa terjadi saat sekelompok orang meyakini bahwa mereka terserang penyakit atau gejala yang sama, terkadang disebut sebagai penyakit psikogenik massa atau histeria epidemik (Weir E Mass, 2005).

Baca juga : Pandemik Corona di Era Media Sosial

Masyarakat resah. Informasi perihal Covid-19; dampaknya, gejala-gejala yang muncul, cara mengatasinya, dan korban yang berjatuhan di berbagai belahan dunia menyebar sangat cepat, berhamburan di laman-laman media sosial. Orang-orang dari berbagai kalangan menjadi semakin gelisah. Berita yang memang valid dan dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya ditambah bumbu pemberitaan yang tidak jelas sumbernya, menimbulkan ketakutan berlebihan di tengah masyarakat. 

Dr. M. Grohol, Psy.D, merupakan pendiri dan editor in chief Psych Central.com memperkirakan, inilah yang menyebabkan terjadinya panic buying, karena penularan emosi kecemasan dari satu orang kepada orang lain, yang lebih banyak disebabkan informasi melalui media, termasuk media sosial, yang menularkan kecemasan dan perasaan ketakutan berlebihan. Kelangkaan masker, cairan pembersih tangan, alkohol, dan kenaikan harga beberapa kebutuhan pokok, menjadi ciri nyata dari histeria massa ini.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.