Dark/Light Mode

MS Shiddiq, Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia

Corona (Stu)vid-19 Dan Media Sosial

Senin, 13 April 2020 13:47 WIB
MS Shiddiq, Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Corona (Stu)vid-19 Dan Media Sosial

 Sebelumnya 
Corona (Stu)Vid-19

Corona (Stu)vid-19 bukanlah jenis baru nano-virus. Ini adalah gejala akut para pengguna media sosial, yaitu ketidakakcerdasan (kalau tidak disebut kebodohan) dalam menyikapi semua pemberitaan tentang Covid-19. Kedunguan orang ketika memilih untuk menyebarkan atau tidak informasi yang didapatnya dari media sosial. Alih-alih menyaring berita yang super sensitif seperti korban Covid-19 (terutama yang meninggal), justru dengan sangat gampang membagi informasi yang belum terverifikasi tersebut kepada orang lain. Dampaknya, tentu saja jauh lebih membahayakan daripada Covid-19 yang diberitakan.

Riset online yang penulis lakukan kepada 1015 pengguna media sosial medio 12 Februari hingga 20 Maret 2020, mengidentikasi 84,9 persen responden mengaku langsung menyebarkan informasi tentang Covid-19 yang diperolehnya di grup Whatshapp, Facebook dan Instragram. Sebanyak 12,1 persen menyatakan tidak langsung membagikan info tentang Covid-19 melalui akun media sosialnya. Hanya 3,4 persen yang mengaku mengabaikannya.

Baca juga : Perangi Covid-19, Rasakan Penderitaan Indonesia

Riset ini juga mempertanyakan, mengapa responden memilih langsung dan tidak langsung menyebarkan info yang didapatnya di media sosial. Responden pertama menyatakan, pilihan langsung menyebarkan karena menganggap hal itu penting diketahui orang lain, meskipun belum jelas kebenarannya. Sementara responden kedua memilih tidak langsung menyebarkan beralasan, karena perlu memverifikasi terlebih dahulu kebenaran isi informasi tersebut. 

Riset ini juga mempertanyakan, informasi atau apa saja yang disebarkan melalui media sosialnya. Bagi kelompok responden pertama, fokus info yang langsung mereka bagikan adalah informasi, meme dan video korban meninggal atau pasien diduga Covid-19.

Sebaran riset online ini diberikan secara acak kepada pengguna media sosial di 5 Kota Besar di Pulau Jawa (Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Surabaya) dan 5 kota lainnya di luar Pulau Jawa (Palembang, Riau, Makassar, Palangka Raya, dan Banjarmasin).

Baca juga : Ara: Langkah Jokowi Realokasi Anggaran Negara untuk Atasi Covid-19 Sangat Tepat

Mengutip teori “Implosi Media”-nya McLuhan (1964), serangan informasi tak terverfikasi di media sosial di samping media mainstream lainnya, memberi pengaruh sangat besar pada pola pikir, pemahaman, bahkan perilaku dari masyarakat. Ini yang penulis sebut Corona (Stu)vid-19, yaitu orang yang tidak sadar bahwa informasi yang mereka sebarkan berpengaruh besar pada orang lain, menimbulkan kecemasan, histeria dan kepanikan berlebihan. 

Tak heran, jika kemudian Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat lebih dari 100 hoax alias berita palsu yang berhubungan dengan Covid-19. Bahkan Kapolri Idham Azis pada saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR (31/03/20) mengungkapkan, telah menangkap 51 orang penyebar hoax Covid-19 dan memblokir 39 akun media sosial yang diduga sumber berita palsu tersebut.

Bagi kita, perlu kecerdasan, kewarasan, kebijaksanaan, dan kehati-hatian dalam menyebarkan informasi apapun yang berhubungan dengan Covid-19, apalagi yang berhubungan dengan pasien dan korban. Jangan sampai kita termasuk orang dalam kelompok yang disinyalir dalam viral of silent-nya Elisabeth Noelle Neumann (1973), sebagai “virus” yang dapat membunuh orang lain lebih hebat daripada virus corona itu sendiri. Stop jadi Corona (Stu)vid-19. Wallahu a’lam. (*)

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.