Dark/Light Mode

Kesaksian Buya Hamka

Bung Hatta, Inisiator Pembangunan Masjid Istiqlal Jakarta

Selasa, 22 September 2020 22:24 WIB
Salah satu Dwi Tunggal Proklamator, mantan Wakil Presiden RI, Dr. (H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta. [Foto: http://www.wapresri.go.id/unggah/2015/09/DDI_5959.jpg
Salah satu Dwi Tunggal Proklamator, mantan Wakil Presiden RI, Dr. (H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta. [Foto: http://www.wapresri.go.id/unggah/2015/09/DDI_5959.jpg

 Sebelumnya 
Hatta menulis sanggahan berikutnya dalam kalimat yang pendek, sederhana mengenai pandangan hidupnya dan perjuangan yang dipilihnya dan siapa yang mendorongnya untuk berjuang pada masa pergerakan. HAMKA pun tidak bisa menyembunyikan kekagumannya.

Kerinduannya untuk berjumpa dengan Hatta terobati, sejak pertemuan pertamanya pada tahun 1943. HAMKA masa itu bertolak dari Medan ke Jakarta, untuk menjumpai ayahnya yang ditawan Jepang. HAMKA berjumpa Hatta di kantor PUTERA – organisasi propagandis untuk Dai Nippon yang digawangi Bung Karno, K.H. Mas Mansur, dan Ki Hajar Dewantoro.

Hatta menjamu HAMKA di kediamannya. Percakapan keduanya mengalir begitu saja, tanpa basa-basi. HAMKA meminta nasehat Hatta, agar Haji Rasul dipindahkan saja ke Sumatra Barat dalam pengasingannya. Hatta pun memberi nasehat, agar Haji Rasul tetap tinggal di Jakarta, mengurus dirinya yang sakit, dan mencukupi dengan obat-obat medis.

Baca juga : Komisi IV DPR Dukung Pengembangan Kawasan Bawang Putih Di Jawa Barat

Di tengah nasehatnya, Hatta memuji kiprah dan perjuangan Haji Rasul yang tidak mau tunduk dengan aturan Dai Nippon yang cenderung bertentangan dengan persoalan Tauhid dalam Islam. Hatta memberi gambaran tentang ayahanda HAMKA, yaitu HAKA, ”Ulama yang teguh pada pendirian, dan yakin pada kajinya. Sehingga tidak mau tunduk begitu saja untuk membungkukkan badannya ke arah matahari terbit.”

Di masa pendudukan Jepang dikenal istilah Seikerei, sebuah ritual di mana orang-orang harus membungkukkan badan sedalam-dalamnya ke arah Tokyo. Tujuannya, menghormati Tenno Heika atau Yang Mulia Kaisar Jepang, Hirohito (1926-1989), yang dianggap sebagai keturunan Dewi Amaraterasu atau Dewi Matahari.

Tindakan ini sebagian mendapat penolakan, terutama oleh kelompok Islam di masa itu. Tapi bagi yang menolak, bakalan menerima hukuman dari para prajurit Angkatan Darat Kekaisaran Jepang yang dikenal bengis.

Baca juga : Mendes Pede Desa Bakal Jadi Role Model Pembangunan Internasional

Jangankan menolak, saat seseorang ketahuan membungkuk kurang dalam saja, bila terlihat prajurit Jepang, dia bakal diberikan hukuman tamparan.

Sementara sebaliknya, HAMKA mengungkap kekagumannya pada sikap Hatta yang tenang, cerdas, dan tawadhu (rendah hati) itu. Ia pun menaruh rasa segan, hormat pada ketenangannya. Padahal usia keduanya hanya terpaut delapan tahun saja. Hatta berumur 43 tahun dan HAMKA berusia 35 tahun.

Setelah selesai mengungkap maksud kedatangannya, HAMKA izin meninggalkan rumah kediaman Hatta. Hatta segera mengantarkan dirinya ke halaman rumahnya. “Terasa kembali geraknya yang tenang itu, yang didorong oleh suatu yang ghaib yang disebutnya Iradat Ilahi Rabbi.” Demikian tulis HAMKA dalam Panji Masyarakat, Januari 1972.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.