Dark/Light Mode

Warga Kota Yang Kesepian

Rabu, 11 November 2020 23:11 WIB
Dr. Tantan Hermansah, S.Ag., M.Si.
Dr. Tantan Hermansah, S.Ag., M.Si.

 Sebelumnya 
Manusia adalah sosok subyek yang memiliki lisan dan mulut untuk menghasilkan tindakan menyapa, serta memiliki akal budi yang mampu memberikan makna secara bersama-sama atas sesuatu peristiwa.

Maka jangan heran jika akhirnya manusia lain melakukan tindakan menerobos anjuran ini dengan cara escape atau lari keluar dari, setidaknya, kawasan yang selama ini membuatnya merasa terasing dan kesepian itu.

Tujuan subyek ini secara sederhana bisa dibagi menjadi dua: pertama, adalah ruang yang bisa membebaskan diri dari kesepian seperti ke mall, restoran yang penuh, dan sebagainya.

Di ruang seperti ini, manusia merasakan bahwa kebebasan untuk menuangkan rasa tersebut, terwadahi pada arena yang tengah mereka rasakan. Jadi makan bersama di resto mewah, menonton konser atau bioskop sejatinya dipahami sebagai upaya selebrasi atas pengekangan selama ini.

Baca juga : Waspadai Warga Kaltara Yang Akan Kembali Ke Tanah Air

Tujuan kedua adalah ruang-ruang yang justru memang didesain, dibuat, untuk menunjukkan kesejatian dari kesepian dan keterasingan ini. Di arena ini, kesepian dihadirkan karena pada dasarnya manusia hidup individualis. Jika di kota tempat tinggalnya individuasi itu susah diekspresikan, pada ruang seperti ini justru subyek sebagai individu tunggal diakui eksistensinya.

Salah satu tempat orang kota “mengasingkan” diri dari kesepian karena pandemi adalah Kampung Budaya Sunda (KBS) Sindang Barang. Destinasi yang berbasis budaya ini terletak di Kampung Pasir Eurih, Kabupaten Bogor. Visualisasi yang ditampilkan adalah suasana budaya Sunda jaman dahulu, yang diwujudkan dalam beragam bangunan dengan desain Sunda klasik.

Di ruang-ruang seperti ini, para pengunjung seolah diajak untuk menyelami kembali kehidupan masa kini dengan cara pandang atau perasaan masa lalu. Atau sebaliknya: menyelami masa lalu dengan perasaan kekinian. Sehingga para pelancong kemudian menemukan kediriannya dalam cuaca, rasa dan keindahan.

Para pelancong yang nota bene kebanyakan orang kota itu, seperti diajak menepi dari segala kebisingan, untuk sejenak mentadaburi kehidupan sejati yang selalu melibatkan alam sebagai teman dialog menelisik alif ba ta kehidupan.

Baca juga : Putar Otak Atasi Resesi

Kesendirian dan kesepian diberikan ruang sebagai bagian dari cara manusia bisa —jika menggunakan istilah Ebiet G. Ade— “menengok ke dalam”. Sebab selama ini, manusia kerap lebih banyak melihat keluar dan membangun semua parameter kehidupan berdasarkan tengokan ke luar itu.

Tamasya warga kota ke ruang sepi tentu bukan untuk mengekstraksi kesepian. Justru sebaliknya, untuk meluluhlantakkan perasaan individu yang akan mengganggu sistem relasi— yang secara hakiki merupakan ciri utama manusia.

Untuk itulah maka sebelum kita semua larut dalam keterasingan dan kesepian; sebelum keterasingan dan kesepian itu melembaga, maka secara bersama-sama dan dengan kesadaran, ruang-ruang publik tempat manusia kembali mengasah nuraninya, harus dihidupkan kembali dengan pembatasan yang ketat.

Tentu saja proses sosial budaya dalam era new normal ini tidak selalu mudah. Namun tidak ada kekuatan yang akan mengalahkan kebersamaan; apalagi jika ditambah vitamin kesadaran. [*]

Baca juga : Terawan Jangan Kegeeran

[Penulis adalah Doktor Sosiologi Universitas Indonesia (UI), Ketua Program Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) dan Dosen Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.