Dark/Light Mode

Saran Komnas HAM Buat Presiden Jokowi Tangani Terorisme

Tarik Dan Perbaiki RPerpres Pelibatan TNI

Rabu, 18 November 2020 12:34 WIB
Saran Komnas HAM Buat Presiden Jokowi Tangani Terorisme Tarik Dan Perbaiki RPerpres Pelibatan TNI

RM.id  Rakyat Merdeka - Presiden Jokowi diharapkan tidak menandatangani Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) penanganan aksi terorisme.

Setidaknya, sebelum dipastikan adanya kebijakan yang jelas dan sesuai prinsip negara hukum dan HAM. Serta mengedepankan criminal justice system.

Peringatan ini disampaikan Beka Ulung Hapsara, Komisinoner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Periode 2017-2022 dalam Webinar yang diselenggarakan MARAPI Consulting & Advisory bekerjasama dengan Center for International Relations Studies (CiReS), Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial dan Politik (LPPSP) FISIP, Universitas Indonesia (UI), Selasa (17/11/2020) lalu.

“Dalam surat yang kami (Komnas HAM) sampaikan kepada Presiden, menyampaikan rekomendasi menarik kembali RPerpres dalam menangani aksi terorisme untuk diperbaiki,” akunya pada webinar seri ke-8 bertema “Pelibatan TNI Dalam Kontra Terorisme” itu.

Beka menyatakan, Komnas HAM tidak pernah menolak pelibatan TNI. Tapi harus dipastikan, seberapa jauh dan seberapa besar peran TNI. Soalnya, Komnas HAM melihat RPerpres bertentangan dengan pendekatan hukum, yang menjadi paradigma UU No 5 Tahun 2018 dan UU No 34 Tahun 2004. UU itu menekankan aspek pelibatan TNI yang bersifat perbantuan (adhoc) dan memiliki sumber anggaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Baca juga : Presiden Jokowi Anugerahkan Gelar Pahlawan Nasional Kepada 6 Tokoh

RPerpres ini, jelasnya, masih berciri pendekatan war model, sehingga berpotensi memunculkan pelanggaran HAM. Menurut Beka, “RPerpres ini akan melahirkan tumpang tindih dalam tata kelola dan penanganan terorisme dengan kementerian dan lembaga lain,” ujar Konsultan, Fasilitator dan Trainer Peningkatan Kapasitas dan Tata Kelola Pemerintahan, Friedrich Naumann Foundation, pada Desember 2006-November 2012 ini.

Karena itu, lanjutnya, Komnas HAM merekomendasikan pelibatan TNI hanya dalam penindakan, dengan batasan yang jelas dan kapan akan dikerahkan. Sehingga tidak meluas pada penangkalan dan pemulihan.

Sebelumnya, Feri Kusuma, Wakil Koordinator I Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam paparannya menyatakan, RPerpres ini tidak boleh menjadi norma hukum yang memberikan kewenangan yang tumpang tindih antar kementerian dan lembaga.

KontraS dan Koalisi Masyarakat Sipil, lanjutnya, sudah memberikan masukan kepada pemerintah. “Sayangnya pada draft terakhir yang saya terima, secara substansi belum banyak berubah,” keluhnya.

Karenanya menurut Feri, RPerpres ini sangat layak ditunda pembahasannya. Kemudian direvisi, dengan memasukkan usulan perbaikan dari berbagai kalangan.

Baca juga : Menag: Terorisme Tak Dibenarkan Atas Alasan Apapun

Terkait kewenangan penangkalan oleh TNI, dia juga mengingatkan, sebelum Reformasi 1998, TNI memiliki kewenangan penangkalan terhadap ancaman domestik. Akibatnya, banyak efek negatif. Salah satunya adalah pelanggaran HAM.

Selanjutnya, Reformasi 1998 berhasil mendorong perubahan dan mengatur hubungan antar lembaga. Jika penangkalan ini dihidupkan kembali, kata Feri, Indonesia akan kembali ke model di masa lalu.

Menurutnya, perhatian kepada RPerpres ini penting, karena berhubungan dengan masa depan hukum dan demokrasi Indonesia. Termasuk masa depan reformasi birokrasi TNI.

Di acara yang sama, Muhamad Haripin, Ph.D, Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memaparkan, konsep pelibatan militer umumnya juga terjadi di berbagai negara, disertai ketentuan limitasi dan ruang lingkup operasinya.

Selain menjelaskan alasan pelibatan militer yang dilakukan di beberapa negara, dia juga mengingatkan, tidak ada jaminan bahwa pengerahan tentara akan menghentikan aksi terorisme. Bahkan sangat mungkin terjadi balas dendam yang lebih besar, karena kelompok teroris akan menyiapkan kekuatan yang lebih besar karena berhadapan dengan militer.

Baca juga : Jokowi: Teroris Tak Ada Hubungan Dengan Agama Apa Pun

Terkait RPerpres, Haripin sepakat, bahwa rancangan tersebut masih perlu diperbaiki. Dia mengingatkan pentingnya pengawasan publik dalam pembahasannya. “Bukan dalam konteks anti militer. Tapi demi mendorong posisi militer yang profesional,” tegasnya.

Indonesia, lanjut Haripin, perlu berhati-hati dalam menggelar kekuatan bersenjata dalam menghadapi ancaman keamanan domestik, tidak hanya untuk ancaman terorisme, karena bisa menimbulkan persoalan baru.

Sedangkan narasumber lainnya, Muhammad Arif, M.Sc, peneliti CiRes Universitas Indonesia menjelaskan tantangan negara demokrasi dalam dilemma melawan terorisme, dengan mempertahankan prinsip demokrasi.

Menurutnya, perluasan peran militer berpotensi menurunkan kualitas demokrasi. “Jangan sampai dalam memerangi terorisme terjadi teror baru di masyarakat” pungkas Arif. [RUS]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.