Dark/Light Mode
BREAKINGNEWS
Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU
Ahli Epidemiologi Dicky Budiman
Efektivitas Vaksin Kudu Diukur Secara Berkala, Terutama Kalau Ada Varian Baru
Sabtu, 15 Mei 2021 19:15 WIB
RM.id Rakyat Merdeka - Ahli Epidemiologi yang juga Pakar Global Health Security Griffith University, Australia Dicky Budiman mengapresiasi tingginya efektivitas vaksin Sinovac di dunia nyata, yang diumumkan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada Rabu (12/5).
Dalam survei yang melibatkan 128.290 tenaga kesehatan (nakes) di wilayah DKI Jakarta pada periode 13 Januari - 18 Maret 2021, vaksin Sinovac terbukti 94 persen efektif dalam mencegah infeksi Covid, 96 persen efektif mencegah rawat inap, dan 100 persen mencegah kematian akibat Covid pada hari ke-28 hingga ke-63 setelah vaksinasi kedua.
Ini mengungguli efektivitas vaksin Sinovac dalam uji klinis di Brazil, yang hanya mencapai angka 65 persen.
Merespon hal tersebut, Dicky berpendapat, perkembangan efektivitas vaksinasi harus terus dimonitor di dunia nyata.
"Efektivitas vaksinasi memang harus dilakukan melalui uji-uji di dunia nyata. Ini hal yang bagus," kata Dicky lewat pesan suara, Jumat (14/5).
Ia menyarankan agar efektivitas vaksin dimonitor secara berkala. Tidak harus setiap bulan. Namun, dalam periode-periode yang dinilai penting. Misalnya, ketika muncul varian baru.
Baca juga : Petakan Kebutuhan Oksigen Dari Sekarang, Jangan Sampe Nyesel...
"Ini bermanfaat. Setidaknya dengan angka sebesar itu, para tenaga kesehatan bisa memanfaatkan informasi tersebut untuk meredam resistensi masyarakat terhadap vaksin. Orang yang ragu dan lainnya," sambungnya.
Dicky menilai, tingginya efektivitas vaksin terhadap nakes tak bisa merepresentasikan populasi umum. Apalagi, metode penelitian restrospektif punya tingkat kepercayaan di bawah penelitian prospektif.
"Tentu beda. Perilaku nakes jauh lebih terjaga dari populasi umum. Harus dilakukan juga prospective core study untuk populasi umum. Karena banyak data penting, kadang-kadang nggak ada," jelasnya.
Baca juga : Efektivitas Vaksin AstraZeneca Dan Pfizer, Ternyata Cuma Beda Tipis
Selain itu, penelitian retrospektif juga dinilai rawan selection bias. Apalagi, penelitiannya dilakukan ketika belum terdeteksi varian baru seperti varian Inggris, Afrika Selatan, Brazil, dan India.
Karena itu, Dicky menilai perlu ada studi lanjutan. Perbedaan faktor ini harus dilihat lagi efikasinya. Tidak bisa apple to apple. Sebab yang dibandingkan adalah clinical trial. Uji atau studinya berbeda.
"Makanya, meskipun sudah divaksin tetap harus menjalankan protokol kesehatan 5M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas yang tak perlu," pungkas Dicky. [SAR]
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tags :
Berita Lainnya