Dark/Light Mode

Mendadak Caleg

Senin, 24 Desember 2018 07:38 WIB
Ngopi - Mendadak Caleg
Catatan :
ABDUL SHOMAD

RM.id  Rakyat Merdeka - Pemilu 2019 ini banyak teman-teman saya yang menjadi calon anggota legislatif (caleg). Ada yang menjadi caleg DPR RI, DPR Provinsi, Kabupaten dan Kota. Sementara, kawan saya yang maju menjadi calon anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) belum terdeteksi.

Mereka tersebar di banyak partai politik. Ada yang nyaleg dari parpol yang lahir di masa reformasi. Nyaleg dari parpol yang lahir di era milenial sekarang ini. Bahkan, ada juga yang nyaleg dari parpol Orde Baru (Orba).

Untuk parpol reinkernasi Orde Baru, saya belum lihat. Ada tidak kawan saya yang nyaleg dari partai yang diisi oleh keluarga Pak Harto. Pemilu 2019 ini, mereka punya parpol dan ikut pemilu.

Saya sempat mengerutkan dahi ketika kawan-kawan saya banyak yang “mampir” di partai Orde Baru. Kok bisa-bisanya. Bukan apa-apa, mereka rata-rata aktivis. Ya, aktivis 98, yang ikut melengserkan president Soeharto.

Baca juga : Bandar Pilpres

Kawan-kawan saya punya alasan kenapa memilih parpol Orde Baru. Saya hanya menanggukkan kepala ketika kawan-kawan saya membeberkan alasannya. Tak penting saya sanggah. Toh ini demokrasi. Bebas menentukan pilihan. Yang penting bertanggung jawab.

Tapi rasa penasaran saya tak bisa dibendung. Naluri jurnalis saya bekerja di bawah sadar. Diam-diam menyelidik. Ternyata, di antara mereka ada yang sudah pernah nyaleg sebelumnya. Tapi gagal. Lalu mencoba peruntungan lagi. Bahkan, di antara mereka, juga pindah-pindah partai. Gagal di pemilu lalu dengan partai A, lalu loncat di pemilu berikutnya dengan kendaraan baru lagi.

Kok bisa? “Mudah saja. Sekarang ini yang penting narasi dan diksi. Kalau narasi kita bagus, diksi yang kita gunakan ketika bertemu pimpinan parpol menarik, sudah pasti bisa nyaleg,” begitu jawab teman saya itu.

Saya langsung paham apa yang dimaksud narasi dan diksi, yang disebutkan kawan saya itu. Ya, bahasa gaulnya, yang penting bisa ngecap. Raciklah “kecap” dengan baik. Lalu hidangkanlah ketika bertemu dengan bos parpol, atau siapa saja yang punya otoritas pengambilan keputusan.

Baca juga : Mana Pak Gub Dan Wagub?

Kalau perlu sisipkan teori dan ayat-ayat agama, biar tampak lebih pintar. Niscaya pasti sukses.Selidik saya kedua soal budget. Dari mana kawan-kawan saya itu mengongkosi kampanyenya. Bikin spanduk, baliho, poster atau leaflet. Atau bahkan untuk sekedar ngopi dengan warga di daerah pemilihan.

Bukan apa-apa. Kata teman saya yang lain, yang tidak nyaleg lagi setelah pemilu lalu gagal, untuk sekadar ngopi bersama 10 warga saja, caleg harus punya duit 3 juta. Atau paling sedikit 1,5 juta. Lho buat apa….Ya buat sekadar beli kopi dan gorengan. Juga amplop.

Kok harus pake amplop segala sih? “Iya lah. Warga mau datang dan mendengarkan kita ngecap aja sudah untung. Bagi warga lebih baik mereka ke sawah atau berladang. Lebih konkret. Ada penghasilan. Nah, itulah yang Kita apresiasi,” kata teman saya lagi. “Pantes biaya politik mahal,” kata Saya dalam hati.

Kembali ke kawan saya yang lagi nyaleg tadi. Terus, mereka-mereka itu punya duit. Jawabannya, variatif. Tapi ya tidak em-em an. Paling juga puluhan juta. Paling banyak juga ratusan juta. Bisa diukur dah… Beda kalau kawan saya yang petahana, modalnya pasti Ada. Mungkin buanyak.

Baca juga : Teh Talua Demokrasi

Kawan-kawan yang lain bilang. “Jadilah penyelam hebat. Sambil menyelam minum susu.”

Saya teringat omongan mentor, sekaligus orangtua saya di organisasi dulu, almarhum Asri Harahap. Kata dia, untuk ngurusi orang, sebaiknya penuhi dulu kebutuhan dasar kita. Bagaimana bisa berkhidmat untuk orang lain, sementara dapur dan kebutuhan dasar anak-istri belum bisa kita penuhi

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.