Dark/Light Mode

Merujuk Data BPS

Papua Belum Lepas Predikat Termiskin

Rabu, 12 Oktober 2022 07:20 WIB
Wakil Ketua Komite I DPD Filep Wamafma. (Foto: Dok. DPD RI)
Wakil Ketua Komite I DPD Filep Wamafma. (Foto: Dok. DPD RI)

RM.id  Rakyat Merdeka - Wakil Ketua Komite I DPD Filep Wamafma menyayang­kan Papua dan Papua Barat sampai saat ini belum bisa lepas dari predikat termiskin di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, Provinsi Papua dan Papua Barat menduduki peringkat teratas persentase kemiskinan di Indonesia per Maret 2022.

Dalam data itu, jumlah pen­duduk miskin Papua ialah 922,12 ribu orang atau 26,56 persen dari total penduduk. Sementara di Papua Barat mencapai 218,78 ribu orang atau 21,33 persen dari total penduduk.

“Akan tetapi, jika kita me­lihat jumlah penduduk miskin terbanyak bukanlah dari Papua dan Papua Barat, melainkan dari Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sumatera Utara,” kata senator asal Papua Barat ini.

Baca juga : Mahasiswa Dukung BNPT Kategorikan KKB Papua Sebagai Teroris

Dia bilang, pada Maret 2022, jumlah penduduk miskin ter­banyak ialah Provinsi Jawa Timur yaitu sebanyak 4.181,29 ribu orang. Disusul Jawa Barat sebanyak 4.070,98 ribu orang, Jawa Tengah 3.831,44 ribu orang dan Sumatera Utara se­banyak 1.268,19 ribu orang. “Jadi secara nasional, keempat provinsi itu yang menyumbang jumlah penduduk miskin terbesar. Ini juga perlu diklirkan,” ujarnya.

Filep menduga, Papua dan Papua Barat sebagai daerah yang termiskin karena persentasenya dibandingkan dengan jumlah penduduknya yang sedikit. Karena itu, dia berharap agar dipikirkan kembali berbagai indikator untuk penyebutan daerah atau provinsi termiskin.

Jika indikator miskin BPS menggunakan data aset, misalnya aset tanah yang bisa menjadi uang atau penghasilan tertentu, maka bisa jadi Papua dan Papua Barat tidak dapat dikategorikan miskin.

Baca juga : Duta Damai Papua Harus Mampu Ciptakan Perdamaian Dan Persatuan

“Jutaan tanah di Papua dan Papua Barat merupakan milik masyarakat adat yang san­gat bernilai harganya,” jelas Filep.

Filep menuturkan, persoalan kemiskinan ini disorot bela­kangan lantaran dugaan adanya praktik-praktik penyalah­gunaan anggaran di daerah. Persoalan ini menjadi semakin sensitif saat Gubernur Papua Lukas Enembe ditetapkan se­bagai tersangka oleh KPK.

Jika dikaitkan dengan du­gaan korupsi yang dilakukan Lukas Enembe, maka perde­batannya harusnya dimulai dari tanggung jawab politik dan tanggung jawab anggaran. Sebab, Gubernur merupakan penanggung jawab politik. Di bawahnya terdapat pejabat pengguna anggaran seperti Sekretaris Daerah (Sekda), bagian keuangan, dan para perangkat daerah. Rangkaian pengambilan kebijakan inilah yang harusnya menjadi fokus dari penegak hukum.

Baca juga : Freeport Perhatikan Tenaga Kerja Lokal

Filep juga menyoroti adanya keterkaitan antara kemiskinan dengan penggunaan dana Otsus. Sampai dengan tahun 2022, Papua dan Papua Barat telah memperoleh transfer Dana Otonomi Khusus (DOK), Dana Tambahan Infrastruktur (DTI), dan Dana Bagi Hasil (DBH) Minyak Bumi dan Gas Bumi sebesar Rp 154,91 triliun.

Jika dihitung secara seder­hana, maka anak SD di Papua dan Papua Barat yang mulai sekolah di tahun 2002 harusnya sudah berhasil menyelesaikan studinya, baik di level sarjana maupun pascasarjana. Tentu ini akan berpengaruh pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua dan Papua Barat.

“Sebab tingkat pendidikan juga berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat Papua. Akan tetapi, data BPS menye­butkan hanya 80.427 orang jumlah mahasiswa sarjana dari Papua pada tahun 2019 dari jumlah penduduk sebanyak 3.32 juta jiwa lebih,” heran Filep. ■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.