Dark/Light Mode
BREAKINGNEWS
Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU
RM.id Rakyat Merdeka - Komite I DPD RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) melalui virtual meeting dengan Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur pada Rabu (29/4). RDPU ini membahas RUU Omnibus Law.
RDPU yang diikuti 20 anggota Komite I ini dipimpin Wakil Ketua Komite I DPD, Dr. Abdul Kholik (Dapil Jateng), didampingi Ketua Dr. Agustin Teras Narang (Kalteng), Wakil Ketua Jafar Alkatiri (Sulut) dan Fachrul Razi (Aceh).
YLBHI memandang RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) ini hyper regulasi dengan alasan adanya tumpang tindih aturan, menghambat akses pelayanan publik dan menimbulkan ketidakpastian hukum, termasuk di Prapendaftaran untuk berusaha dan untuk memulai usaha itu diatur lebih lanjut melalui UU, 2 Peraturan Pemerintah (PP), 4 Peraturan Presiden (Perpres) dan 20 Peraturan Menteri (Permen).
Isnur menilai, RUU ini menciderai prinsip negara hukum dan negara demokrasi. Alasannya, karena RUU ini disusun secara cepat dan memasuki hampir semua sektor, tanpa melalui tahapan dalam pembentukan undang-undang. Yaitu tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan.
Lalu, lanjut Isnur, RUU ini bertentangan juga dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur di pasal 1 angka 1 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang–undangan. (PPP).
“Omnibus Law ini juga mempersempit keterbukaan dan ruang partisipasi publik yaitu (minim pelibatan masyarakat dan meminimalkan peran dan keterlibatan serta fungsi legislastif parlemen dalam penyusunan RUU,” ujar Isnur.
Baca juga : Ini Catatan Komite II DPD Soal RUU Cipta Kerja
Ketua Advokasi YLBI ini menambahkan, RUU Omnibus Law mempunyai pasal yang melemahkan peran Pemerintah Daerah, yaitu pasal 6 ayat 5, pasal 8 ayat 7, pasal 34A ayat (1) RUU Cipta Kerja yang bertentangan dengan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang.
Selain itu, lanjutnya, pasal 15 ayat (1) RUU Cipta Kerja menarik kewenangan izin pariwisata ke Pusat. Pasal 7 dan Pasal 16 serta sejumlah pasal RUU Cipta Kerja yang menarik kewenangan Daerah ke Pusat terkait pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana telah diatur dalam UU nomor 27 tahun 2017.
“Ada upaya sentralisasi berlebihan dan pelemahan Pemda di sektor tata ruang, pariwisata, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau–pulau kecil, pengelolaan limbah B3, pangan dan pendidikan”, tegas Isnur.
Menanggapi pemaparan dari YLBH ini, Wakil Ketua Komite I Dr. Abdul Kholik menjelaskan, dengan mempertimbangkan sejumlah persoalan dan pasal yang masih bermasalah di dalam RUU Cipta Kerja serta dengan mempertimbangkan kondisi dan situasi Indonesia yang sedang menghadapi Pandemi Covid–19, maka Komite I DPD RI perlu menyatakan kepada Pemerintah dan DPR serta Pimpinan DPD RI untuk menunda pembahasan RUU Cipta Kerja.
“RUU Omnibus Law telah menjungkirbalikan seluruh proses pembentukan undang-undang yang selama ini sudah partisipatif di era reformasi. Dari aspek substansi RUU ini sangat beresiko apabila RUU ini tidak dibahas dengan baik terutama proses pembentukannya”, ungkap Kholik.
Baca juga : DPD RI: RUU Cipta Kerja Terlalu Ribet
Senada, Ketua Komite I DPD Dr. Teras Narang sependapat dengan masukan YLBHI. Menurutnya, Komite I DPD sudah sejak 16 April lalu mengeluarkan pandangan dan pernyataan sikapnya atas RUU Omnibus Law.
“Salah satu pandangan Komite I DPD itu adalah mencermati bahwa RUU Cipta Kerja banyak memuat frasa yang melakukan perubahan dan bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5) UUD NRI Tahun 1945. RUU ini akan menimbulkan terjadinya sentralisasi pemerintahan/perijinan yang berpotensi merugikan daerah serta berdampak pada hilangnya semangat otonomi daerah yang merupakan tuntutan reformasi 1998 yang berakibat terjadinya amandemen UUD NRI tahun 1945”, ungkap mantan Gubernur Kalteng dua periode ini.
Di sesi tanya jawab, anggota Komite I yang berasal dari dapil Papua Barat, Dr. Filep Wamafma mengatakan RUU Omnibus Law telah mengembalikan sistem politik pemerintahan kita kembali ke era Orde Baru yaitu sentralistik.
“Ini bertentangan dengan konstitusi. Pimpinan DPD RI kurang agresif mensikapi RUU Omnibus Law. Harus ada sikap tegas dari DPD RI”, tegas Filep.
Sementara, Abrahan Liyanto yang berasal dari dapil NTT dengan tegas juga meminta pembahasan RUU Omnibus Law ditunda tanpa batas waktu.
“Sementara tunda saja dulu, sambil DPD RI juga menyusun DIM RUU Omnibus Law ini”, ujarnya.
Baca juga : Nasdem Usulkan RUU Cipta Kerja Diubah Jadi RUU Kemudahan Investasi
Senator dari dapil Banten, Habib Ali Alwi mengatakan, RUU ini sebaiknya ditarik dari DPR karena momentumnya kurang pas dan saat ini masih dalam suasana pandemi Covid–19.
“Kami di DPD RI jadi bertanya–tanya ada apa ini, kok dipaksakan membahas RUU Omnibus Law di DPR. Sebaiknya ditunda saja dan jangan dipaksakan karena terlalu besar polemiknya”, tegas Habib. [KRS]
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tags :
Berita Lainnya