Dark/Light Mode

Dukung Legislative Review

HNW : Obati Luka Rakyat

Sabtu, 7 November 2020 18:57 WIB
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur wahid.
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur wahid.

RM.id  Rakyat Merdeka - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)  Republik Indonesia Hidayat Nur Wahid (HNW)  mendukung opsi legislative review terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker),   yang diwacanakan  Pemerintah. 

Langkah legislative review, menurut HNH, sejalan dengan prinsip NKRI sebagai Negara Pancasila, Negara Hukum dan Mengutamakan Kedaulatan Rakyat, sebagaimana diatur dalam Bab I Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUDNRI 1945.

“Saya mengapresiasi pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD yang menyampaikan, tidak menutup kemungkinan akan dilakukan legislative review terhadap Undang-Undang  Ciptaker yang telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo,” ujar HNW melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (6/11). 

HNW menilai,  permasalahan  UU Ciptaker tidak  sekedar salah ketik, tapi  banyak aspek persoalan lainnya.  Langkah legislative review, merupakan salah satu opsi legal yang bisa dilakukan agar DPR dan Preside. Hal itu bisa mengobati luka Rakyat, dengan cara memperbaiki secara mendasar berbagai hal terkait penyusunan, pengesahan, dan sosialisasi UU Ciptaker. 

Dari segi proses pembahasan, papar HNW UU Ciptaker nampak tidak cermat. Penyusunan seperti dikejar target.  Draft final  tidak diberikan kepada setiap fraksi pada pengambilan keputusan tingkat I dan tingkat II. Jadwal rapat paripurna persetujuan RUU Ciptakerja pun tiba-tiba dimajukan. Bahkan, sesudah diketok palu di rapat paripurna DPR RI (sekalipun ditolak oleh FPKS dan F Partai Demokrat) hingga diserahkan ke Pemerintah, masih terjadi perbaikan. Hal itu  diakui oleh Jubir Presiden bidang Hukum, Dini Santi P. Meskipun Dini mengklaim, perbaikan itu hanya masalah administrasi, bukan substantif. Tapi ternyata berdampak dengan dihilangkannya secara sepihak Pasal 46 dengan 4 ayatnya. 

Baca juga : Keok Lagi, Rupiah Butuh Obat Kuat

Tak hanya itu, papar JNW,  berbagai kesalahan baik administratif maupun substantif masih ditemukan dalam UU Ciptaker. Padahal UU tersebut sesudah diputuskan di rapat paripurna DPR, sudah disisir di Baleg DPR, dan  juga di Setneg. Beberapa pihak sudah mempublikasikan temuan sejumlah kesalahan pasal dalam UU Ciptaker Misalnya, Pasal 6 yang menentukan untuk merujuk ke Pasal 5 ayat 1, padahal Pasal 5 tersebut tanpa ayat.  Lalu, Pasal 175 angka 6 UU Ciptaker yang mengubah Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan, dimana ayat (5)-nya menyebut agar merujuk ke ayat (3), padahal seharusnya ke ayat (4). Selanjutnya, Pasal 50 angka 5 yang mengubah Pasal 36 UU Perumahan dan Kawasan Permukiman, dan lain sebagainya. Belum lagi temuan substansial terkait  pasal-pasal yang menguntungkan investor dan atau merugikan para Buruh WNI.

HNW menyebutkan,  munculnya kesalahan sesudah ditandatangani Presiden Jokowi, juga diakui  oleh Mensesneg Pratikno, sekalipun diklaim sebagai sekedar kesalahan administratif. Faktanya banyak juga yang substantif. Namun, apapun itu tetap bentuk cacat formal dan legal. Apalagi sudah ada pihak yang ditangkap karena dianggap menyebar hoax terkait RUU Ciptaker. Atau petugas di Sekretariat Negara yang sudah diberi sanksi administratif karena dianggap lalai menyodorkan naskah yang diperlukan tandatangan Presiden, tapi ternyata masih banyak masalah. Karena itu seharusnya  ada penarikan menyeluruh atas UU Ciptaker itu. 

Banyaknya kesalahan tersebut, tandas Hidayat, harusnya tidak  terjadi dalam pembuatan UU yang memiliki daya ikat dan daya paksa kepada masyarakat luas. Apalagi Pemerintah menyampaikan bahwa RUU Omnibus Law Ciptakerja masuk kategori super prioritas, penuh niat baik, untuk sederhanakan perundangan dan hadirkan kepastian hukum. Tetapi dengan masih banyaknya masalah seperti, justru menggambarkan hal sebaliknya dari yang diklaim oleh Pemerintah.

  “Legislative review, dengan menarik seluruh ketentuan  Ciptakerja, oleh DPR dan Pemerintah, bisa menjadi  sarana bagi Presiden dan DPR untuk memperbaiki kinerja dalam pembuatan Undang-Undang dan memperbaiki kesalahan dalam pembuatan Undang-Undang Omnibus Law seperti Ciptakerja ini, agar tak lagi dilakukan dengan grusa-grusu dan ugal-ugalan,"  ujarnya.

HNW berpendapat legislative review  bukan hanya merevisi kesalahan-kesalahan dalam UU Ciptaker. Melainkan secara total membuat RUU Pencabutan UU Ciptaker yang telah meresahkan rakyat, utamanya kaum buruh.

Baca juga : Wamendes Dukung Petani Tolak Simplifikasi Cukai Rokok

  “Perlu ada keberanian dan kenegarawanan untuk mengambil langkah ini, guna mengakhiri kegelisahan dan kegaduhan Rakyat akibat disahkannya Undang-Undang  Ciptaker yang masih bermasalah itu," imbuhnya.

Lebih lanjut, HNW menuturkan bahwa pengajuan dan pembahasan RUU Pencabutan UU Ciptaker ini bisa dilakukan dengan jalur cepat, tanpa melewati proses Program Legislasi Nasional (Prolegnas) layaknya RUU pada umumnya. Ia merujuk kepada Pasal 23 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 sebagai dasar hukumnya. 

Ketentuan itu berbunyi, “Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup:  A.  untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan  B.. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

HNW menilai bahwa kehadiran RUU Pencabutan UU Ciptaker ini sudah memenuhi kriteria dalam pasal itu, yakni adanya keadaan luar biasa dan adanya urgensi nasional.

“Adanya penolakan publik yang meluas, proses pembahasan dan persetujuan RUU Ciptaker di DPR yang dinilai menabrak prosedur formil dan kesalahan penulisan konten yang substanstif cukup menjadi alasan perlunya RUU Pencabutan tersebut,” tukasnya. 

Baca juga : Dukung The New Normal, BTN Ajak Pengembang Bangun Rumah Rakyat

Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) ini menjelaskan bahwa UU Pencabutan suatu Undang-Undang bukan terlarang, dan bukan hal yang baru bagi Indonesia. DPR dan Pemerintah, pernah melakukan kegiatan sejenis, dengan mengesahkan UU No. 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan UU No. 11/PNPS/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.

 HNW mengingatkan, selain legislative review, ada dua opsi yang bisa diambil untuk mengakhiri kegaduhan terkait UU Ciptakerja ini, yakn judicial review   ke Mahkamah Konstitusi atau executive review oleh Presiden. Judicial review sudah ditempuh oleh berbagai kalangan masyarakat, terutama buruh/serikat pekerja.  HNW menambahkan bahwa pemerintah juga perlu mempertimbangkan opsi executive review  yang dilakukan oleh Presiden, dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang mencabut UU Ciptaker ini. Menurutnya, opsi ini lebih mudah dilakukan karena hanya membutuhkan kemauan politik Presiden, tanpa perlu melibatkan DPR  layaknya mekanisme legislative review. Dan kalau Presiden membuat Perppu dengan mencabut UU yang baru ditandatanganinya, maka demi kemasalahatan terbesar bagi Bangsa dan Negara, hal seperti itu wajar untuk dilakukan. Seperti dulu Presiden SBY, diakhir masa jabatan ke-2 nya, membuat Perppu No. 1 Tahun 2014 dan mencabut UU Pilkada yang baru saja ditandatangani. “Dari sudut pandang ketatanegaraan, memang Presiden tidak boleh dengan mudah menerbitkan Perppu. Namun, langkah ini perlu juga dipertimbangkan, mengingat penolakan terhadap Undang-Undang Ciptaker di masyarakat semakin meluas," pungkasnya. QAR

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.