Dark/Light Mode

Atasi Krisis Politik Di Myanmar, BKSAP DPR Minta ASEAN Progresif Dorong Dialog

Rabu, 3 Februari 2021 08:49 WIB
Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR Fadli Zon (Foto: Istimewa)
Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR Fadli Zon (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR Fadli Zon prihatin atas kudeta yang dilakukan militer Myanmar pada Senin, (1/2). Ia menilai kudeta, di Negeri Pagoda Emas itu tidak hanya sebagai kemunduran demokrasi bagi Myanmar, namun juga bisa memengaruhi persepsi dunia terhadap praktik demokrasi di ASEAN

"Sebagai anggota parlemen, saya sangat prihatin. Sebab, kudeta itu dilakukan saat parlemen baru Myanmar hasil Pemilu 2020 akan memulai persidangan. Pengambilalihan kekuasaan oleh militer Myanmar itu telah menghilangkan peran parlemen sebagai alat kontrol kekuasaan. Ini buruk bagi demokrasi,"ungkap Fadli,  dalam siaran persnya, Selasa (2/2).

Oleh karenanya, politisi Gerindra ini berharap ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA), organisasi parlemen negara-negara ASEAN, segera merespons hal itu. Fadli menambahkan, hingga 2011, Myanmar memang diperintah oleh angkatan bersenjata. Namun, sesudah itu mereka melakukan reformasi demokrasi dan mengakhiri kekuasaan militer. Kudeta militer yang terjadi kemarin telah menarik mundur proses demokrasi yang sudah berjalan. “Itu amat disayangkan,” imbuhnya.

Baca juga : DPR Minta Menkominfo Pertahankan Kewajiban OTT Asing Kerja Sama Dengan Operator Lokal

Fadli mencemaskan krisis politik di Myanmar tersebut akan menghambat penyelesaian tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya. Sejak 2017, ratusan ribu etnis Rohingya terusir dan telah mengungsi ke berbagai negara, termasuk Indonesia, karena tindakan keras militer Myanmar. 

"Pada akhir 2017, saya telah melihat langsung kamp pengungsian di Cox's Bazar, perbatasan Bangladesh, yang dihuni ratusan ribu warga Rohingya. Mereka adalah korban selamat dari penyiksaan dan penindasan militer Myanmar. Bahkan saya telah bertemu langsung dengan mantan Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Kofi Annan, di Jenewa, yang menginisiasi investigasi melalui Annan Report. Annan sangat prihatin atas dominasi militer dalam formasi pemerintahan sipil Myanmar," ungkap Fadli.

Fadli menambahkan, di era kepemimpinan sipil saja, masalah Rohingya tak bisa diselesaikan dengan baik. Sekarang, dengan kudeta militer dan krisis politik, kasus Rohingya akan semakin diabaikan pemerintah Myanmar. 

Baca juga : Komisi IV DPR: Bukan Cuma Anomali Cuaca, Banjir Karena Kesalahan Kebijakan

"Selain itu, saya juga mendorong agar ASEAN melakukan tindakan progresif dalam menyikapi persoalan yang terjadi di Myanmar. Menurut saya, ASEAN perlu mendorong terjadinya dialog, dan mungkin juga power sharing antar faksi yang terlibat konflik," sarannya.

Presiden Organisasi Parlemen Antikorupsi Sedunia (GOPAC) periode 2015-2019 ini menegaskan, ASEAN dituntut bisa menafsirkan asas non-interference secara lebih progresif. Sebab, selama ini prinsip tersebut telah membelenggu ASEAN untuk melakukan tindakan berarti, ketika ada konflik yang terjadi di negara anggotanya. 

"Kita memang harus menghormati kedaulatan negara lain. Namun, asas non-interference seharusnya tak dimaknai bahwa ASEAN bersikap pasif atas situasi di Myanmar. Saya mendorong agar pemerintah Indonesia bisa menginisiasi dialog tersebut. Tentu DPR akan sangat mendukung langkah tersebut sebagai wujud komitmen terhadap demokrasi dan HAM,"pungkasnya. [USU]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.