Dark/Light Mode

Soal Amendemen Terbatas UUD 1945, Golkar MPR Pilih Hati-Hati

Minggu, 11 April 2021 19:08 WIB
Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI, Idris Laena. (Foto: mpr.go.id)
Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI, Idris Laena. (Foto: mpr.go.id)

RM.id  Rakyat Merdeka - Fraksi Golkar MPR RI berpandangan sama dengan Mahkamah Konstitusi (MK), bahwa amendemen terbatas UUD 1945 tidak mungkin dilakukan. Sebab, mengubah satu pasal akan otomatis bersinggungan dengan pasal yang lain. Selain itu, penambahan kewenangan satu lembaga akan memicu tuntutan yang sama dari lembaga lain.

Fraksi beringin MPR juga mengingatkan, amendemen UUD 1945 akan membuka kotak pandora dan memberi peluang pendomplengan berbagai kepentingan politik.

"Sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di MPR RI, bersama pengurus Fraksi yang lain, kami khawatir jika amendemen terbatas UUD 1945 dilakukan maka akan sulit mengontrol agendanya. Mengingat, ada 9 fraksi dan 1 kelompok yang pasti punya pandangan yang berbeda-beda. Jangan lupa! Hak konstitusi itu melekat kepada setiap anggota," ujar Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI, Idris Laena kepada wartawan, Minggu (11/4).

Apalagi, kata Idris, dalam situasi pandemi Covid-19 ini, membicarakan amendemen UUD 1945, bukanlah waktu yang tepat. Sebab, masyarakat Indonesia masih berkonsentrasi mengatasi Covid-19 dalam semua aspek. Baik ekonomi, sosial, dan terutama kesehatan.

"Ada kesan bahwa wacana amendemen UUD 1945 hanya demi kepentingan elit politik tertentu," duganya.

Baca juga : PKS Pastikan Tak Ada Amandemen UUD 1945 Soal Jabatan Presiden

Belum lagi, kata Idris, publik juga terpantau salah persepsi. Amandemen terbatas dianggap sebagai cara untuk mengembalikan pemilihan presiden oleh MPR.

Malah, ada yang menduga amendemen itu dilakukan untuk membuka peluang presiden dapat menjabat tiga periode, meskipun hal ini telah diklarifikasi oleh Presiden Jokowi.

"Prinsipnya, bicara tentang amandemen UUD Negara 1945 meskipun wacananya adalah amandemen terbatas, perlu disikapi dengan hati-hati. Tidak ada salahnya, kita mendengarkan pendapat seluruh tokoh masyarakat," tutur politisi Golkar asal Riau itu.

Salah satu yang pendapatnya perlu didengar adalah Hakim Konstitusi Prof. Dr. Saldi Isra. Saldi menyatakan, amendemen terbatas UUD 1945 tidak mungkin dilakukan. Sebab, menurut Saidi, mengubah satu pasal otomatis akan bersinggungan dengan pasal lain. Sehingga pasal-pasal lain juga harus diamendemen.

Dia mengingatkan, UUD 1945 saat ini adalah hasil 4 kali amandemen pascareformasi. Saldi mengungkapkan, semangat amendemen itu adalah pengalaman di masa Orde Lama dan Orde Baru.

Baca juga : Soal Kisruh Partai Demokrat, Golkar Merasa Prihatin

Di kedua orde itu, masa jabatan presiden begitu panjang dan kekuasaannya sedemikian luas, serta sangat dominan.

"Ada pemikiran kekuasaan Presiden harus dibatasi. Ketika ada pemikiran untuk membatasi kekuasaan Presiden, di salah satu sisi ada keinginan memperkuat kewenangan DPR," kata Saldi sebagaimana dilansir website MK, Minggu (11/4).

Pembahasan itu terjadi dengan intens. Tapi, Saldi mengingatkan, dalam konsep bernegara, jika menyentuh satu titik dalam desain bernegara, tidak berhenti di titik itu saja.

"Misalnya kita ingin memperkuat kewenangan DPR, maka DPR akan bersentuhan dan berimplikasi terhadap lembaga-lembaga negara lainnya," imbuhnya.

Alhasil, sambung Saldi, terjadi perubahan UUD 1945 yang jauh lebih komprehensif. Misalnya, salah satu isu tentang hubungan DPR dengan kekuasaan kehakiman, terutama dalam proses pengisian hakim agung.

Baca juga : Setuju Revisi UU ITE, Golkar Minta Pasal Karet Dihapus

Ketika proses pengisian hakim agung diperbaiki, lalu tiba-tiba muncul isu baru, terjadi penumpukan perkara di Mahkamah Agung (MA), sehingga harus mempersiapkan lembaga lain. Akhirnya dibuatlah MK. Ini yang akan terjadi jika amendemen terbatas UUD 1945 dilakukan.

"Hal itu tidak mungkin dilakukan. Kalau orang bicara satu titik dalam konstitusi, maka dia akan bersentuhan dengan titik lain. Misalnya kalau mau mengutak-atik DPR, maka akan ada hubungannya dengan MPR, DPD, MK, MA, dan lainnya," bebernya.

Dalam konteks itu, lanjut Saldi, salah satu isu besarnya soal pembentukan undang-undang. Oleh sebab itu, para pengubah konstitusi membuat desain baru yang lebih ideal terkait pembentukan undang-undang.

Namun dalam risalah perubahan UUD 1945 yang terkait dengan kewenangan pembentukan undang-undang, hampir tidak ada diskusi soal pembentukan undang-undang dalam sistem presidensial.

"Karena pengubah UUD 1945 sudah bersepakat untuk mempertahankan sistem pemerintahan presidensial," tutup Guru Besar Universitas Andalas, Padang itu. [QAR]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.