Dark/Light Mode

Soal Amandemen

Prabowo dan Mega Sejalan Tak Searah

Minggu, 18 Agustus 2019 06:34 WIB
Megawati dan Prabowo saat bertemu di Teuku Umar (Foto: Istimewa)
Megawati dan Prabowo saat bertemu di Teuku Umar (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Wacana amandeman UUD 1945 yang diinisiasi PDIP terus bergulir. Dukungan datang dari Ketum Gerindra Prabowo Subianto. Namun, meski sejalan mendukung amandemen, tapi arah yang dituju eks Danjen Kopassus itu, beda dengan Megawati Cs.

Prabowo minta amandemennya total alias mengembalikan UUD 1945 ke versi aslinya. Sedangkan Mega maunya hanya amandemen terbatas untuk mengembalikan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

“Kalau Gerindra jelas, perjuangkan kembali ke UUD 45 yang asli. Amendemen untuk GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) enggak masalah, (tapi) kami ingin lebih dari itu yakni kembali ke UUD 45 yang asli,” kata Prabowo, usai menghadiri upacara HUT RI ke-74, di DPP Partai Gerindra, Jakarta Selatan, kemarin.

Meski setuju amandemen, Prabowo menolak amandemen nanti mengubah sistem pemilihan presiden. Menurut dia, pemilihan presiden mesti tetap dipilih oleh rakyat, bukan oleh MPR seperti yang terjadi di zaman Orde Baru. “Bukan (sepakat dipilih MPR), itu sudah konsensus dan keputusan mayoritas? itu bisa diadendum. UUD 1945 bukan tak boleh diperbaiki, boleh," tuntasnya.

Waketum Gerindra, Fadli Zon, menjelaskan maksud pernyataan Prabowo. Kata dia, sejak disahkan UUD 1945 telah mengalami 4 kali amandeman sejak 1999-2002. Menurut Fadli,  naskah UUD 1945 yang asli adalah yang sesuai dengan tanggal 18 Agustus 1945 atau saat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan UUD 1945. Fadli ingin naskah bersejarah UUD 1945 dikembalikan, soalnya amandemen UUD usai reformasi dinilainya telah mengandung upaya liberalisasi ekonomi Indonesia.  

Baca juga : DPD Konsisten Perjuangkan Kesejahteraan Daerah

“Kami ingin UUD 1945 yang asli rohnya harus dikembalikan. Karena, konstitusi kita saat amandemen semangatnya adalah meliberalisasi konstitusi kita. Ekonomi kita mau dibikin ekonomi liberal," kata Fadli.

Soal mengembalikan kewenangan MPR dan menghidupkan kembali GBHN, Fadli bilang partainya setuju saja. Namun bukan berarti nanti presiden mempertanggungjawabkan pelaksanaan GBHN-nya ke MPR. Pasalnya, sekarang presiden dipilih oleh rakyat, bukan MPR. 

"Ini yang harus kita pikirkan bersama. Kalau meletakkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara lagi tentu ada sanksinya, diterima atau ditolak laporan presiden itu. Tapi kalau MPR bukan lembaga tinggi ya saya kira itu adalah bagian dari mekanisme pengawasan dan kontrol," kata Fadli.

Sementara itu Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto kembali menegaskan niatan partainya mengamandemen UUD 1945 itu hanya untuk menghidupkan kembali kewenangan MPR dan GBHN. Namun untuk sistem Pemilu tak akan diubah. Presiden tetap dipilih oleh rakyat.

Hasto menambahkan, GBHN diperlukan agar bangsa Indonesia mempunyai perencanaan menyeluruh di berbagai bidang untuk jangka panjang 50-100 tahun ke depan. Termasuk, kata dia, dalam persiapan pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan.

Baca juga : Kementan Gerak Cepat Amankan Produksi Pangan Jawa Tengah Saat Puncak Kemarau

"Kalau tidak ada haluan negara, 2024, presidennya ganti, tiba-tiba ibu kota dipindahkan ke Wonosari, Gunungkidul sana," ujar.

Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti tak sepakat dengan amandemen. Menurut dia, GBHN sudah tidak relevan digunakan dalam sistem ketatanegaraan yang presidensil. Dulu GBHN diperlukan karena presiden dan wapres dipilih oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara. GBHN adalah mandat yang diberikan MPR pada presiden dan wakilnya yang terpilih. 

“Sekarang sudah pemilihan presiden tidak dilakukan oleh MPR tapi pemilihan presiden langsung oleh rakyat. Jadi tidak ada lagi mandat yang harus diberikan oleh MPR," kata Bivitri, kemarin.

Bivitri malah curiga ada maksud tertentu dari dihidupkannya kembali GBHN. Dia khawatir ini hanya untuk kepentingan politik semata, untuk kembali membuat MPR sebagai lembaga tertinggi negara hingga memudahkan jika nantinya ada amandemen terbatas lainnya dalam UUD 1945 dan membuat pemilihan presiden beserta wakilnya kembali ke MPR. ”Kalau begitu kan balik lagi ke masa lalu," ucapnya.

Warganet pun ikut menanggapi usulan amandemen terbatas ini. ada yang setuju, sebaliknya ada juga yang menolak. Pengamat politik Prijanto Rabbani setuju dengan usulan menghidupkan kembali GBHN. 

Baca juga : Soal Amandemen dan GBHN, Jokowi Nolak Maunya PDIP

“Setuju, dan salah satu produknya adalah GBHN. Agar Indonesia punya arah, jangan seperti saat ini, tanpa arah,”  kicau @PriRabbani_.  “Saya sangat setuju ada GBHN,” timpal bekas Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu di akun @msaid_didu.

Tapi ada juga yang menolak. Seperti disampaikan @muchlis_ar. Menurut dia, GBHN tidak bisa menjawab perkembangan zaman. Sosiolog Abdillah Toha menilai munculnya wacana amandemen konstitusi adalah upaya untuk “ngrusuhi” presiden terpilih, “GBHN itu kan dulu karena Presiden dipilih MPR. Sekarang presiden dipilih karena visi dan janji-janjinya. Bukan janji partai. Sebagian besar kita memilih Jokowi bukan karena partai pengusungnya. GBHN hanya akal-akalan partai saja yang ingin ngatur presiden,” cuit @AT_AbdillahToha. [BCG]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.