Dark/Light Mode

Nasehati 2 Capres

SBY: Jangan Bawa Kita Ke Petaka Besar

Minggu, 11 November 2018 07:24 WIB
Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, berharap Pemilu 2019 berlangsung aman dan damai. (Foto: IG @sb.yudhoyono)
Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, berharap Pemilu 2019 berlangsung aman dan damai. (Foto: IG @sb.yudhoyono)

RM.id  Rakyat Merdeka - Mantan Presiden SBY mengaku khawatir dengan perkembangan politik di Tanah Air belakangan ini. Pria kelahiran Pacitan itu menasehati para capres dan cawapres, agar tidak menggunakan politik identitas atau SARA untuk memenangkan Pemilu. SBY bilang, politik identitas dapat membawa bangsa pada petaka besar. Nasehat itu disampaikan SBY berpidato di acara Pembekalan Caleg Demokrat se-Indonesia di Hotel Sultan Jakarta, Sabtu (10/11). Dia mengawali pidato dengan bercerita tentang tantangan di Pemilu 2019. Kata SBY, Pemilu nanti akan sangat berbeda dengan Pemilu 2104. Di 2019, Pemilu digelar serentak. Itu yang bikin Pemilu 2019 akan jauh lebih berat. 

"Saya bukan tipe pemimpin yang memberikan angin surga. I have to tell the truth (saya harus menyampaikan kebenaran, red)" kata SBY. Dijelaskan, ada tiga hal yang bikin Pemilu nanti berat bagi Demokrat. Pertama, digelarnya Pileg dan Pilpres secara bersamaan. Imbasnya, partai politik yang punya capres seperti PDIP dan Gerindra, akan sangat diuntungkan. Jokowi adalah kader PDIP, dan Prabowo kader Gerindra. Suara kedua partai politik itu diyakini akan meningkat tajam.

Sebaliknya, partai politik yang tidak punya capres dan cawapres, suaranya akan menurun. Anjlok. “Itu realitas,” ungkapnya. Kedua, lanjut SBY, Pemilu kali ini akan menggunakan teknik Sainte Lague guna menghitung suara untuk memperoleh kursi. Teknik penghitungan ini berpotensi menguntungkan partai dengan suara terbanyak. Artinya, yang kembali diuntungkan adalah PDIP dan Gerindra. “Itu juga tercermin dari survei saat ini. Itu juga realitas,” ujarnya. Ketiga, terkait diterapkannya ambang batas presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen, yang mengacu hasil suara Pemilu lima tahun yang lalu. 

Baca juga : Mantan Bupati Semarang Terancam 2 Tahun Penjara

SBY berpendapat UU itu keliru. Kalau Pemilu serentak, terangnya, presidential threshold harus nol persen. Karena dengan presidential threshold 20 persen menggunakan suara 5 tahun lalu, kemungkinan partai-partai yang lebih kecil memajukan kadernya menjadi capres dan cawapres juga tertutup.

Selain itu, SBY menyoroti perkembangan politik terkini. Menurut dia, budaya politik di Indonesia mengalami perubahan drastis. Lebih kental dengan nuansa SARA dan politik identitas. Perubahan itu terutama sejak Pilgub DKI Jakarta 2017. Dia menyadari identitas atau SARA, serta ideologi memang selalu menyertai politik di mana pun. Fenomena politik identitas dan SARA sudah menjalar ke dunia internasional. Tapi, jika itu kian berlaku di Tanah Air, diprediksi berakibat perpecahan antar masyarakat.

“Kalau berada dalam tingkatan yang ekstrem, politik dan demokrasi kita tidak sehat, juga berbahaya. Apalagi, Indonesia adalah negara majemuk yang penuh dengan kerawanan dan konflik,” ujarnya. Dia mengajak para komponen bangsa, elite politik, serta pimpinan partai politik bersama-sama mencegah terjadinya politik identitas dan benturan ideologi.

Baca juga : Waduh, Yusril Nyerang Terus

“Jangan sampai menjadi ekstrem. Lihat apa yang terjadi di banyak negara di dunia saat ini, bukan hanya di Timur Tengah. Tapi juga di negara-negara lain yang mengalami malapetaka besar karena politik identitas,” ungkap SBY. Ia mengaku, tak ingin melihat saling serang itu di Pemilu 2019. Baginya, persaingan menuju kekuasaan harus menggunakan akal sehat dan tetap menjunjung tinggi nilai Pancasila.

“Inilah harapan kami. Demokrat tidak ingin kontestasi Pilpres dan Pileg tahun depan, yang prosesnya sudah berlangsung sejak sekarang, menimbulkan perpecahan bangsa. Jangan sampai mengarah ke disintegrasi, kerukunan dan persatuan bangsa kita. Menangis kita kalau itu terjadi,” imbuhnya. SBY berharap, Pilpres mendatang lebih mengedepankan program dan solusi. Para capres dan cawapres pun diharapkan senantiasa menjaga keutuhan dan kerukunan bangsa. 

Terkait hal ini, Pengamat Politik Universitas Indonesia Hurriyah mengakui politik identitas saat ini, memang sangat mengkhawatirkan. Dia bilang, politik identitas sejak dulu dimainkan sejumlah elite untuk meraih kekuasaan. Ada sejumlah penyebab munculnya politik identitas dalam pesta demokrasi di Tanah Air. Di antaranya, secara ideologis, tidak ada kontestasi ideologi yang sehat dan terbuka di antara berbagai elemen partai politik yang ada. Ujungnya, politik identitas kembali digunakan. Antara lain, dengan mencuatkan polarisasi di masyarakat supaya jualan politiknya laris-manis.

Baca juga : Jokowi Sebut Politisi Genderuwo, Itu Prabowo Pak?

Pengamat politik Adi Prayitno menyampaikan hal serupa. Salah satu indikasinya, masyarakat saat ini sangat sensitif. Mudah merasa terzolimi, merasa terhina. Menurutnya, apabila perkara 2017 tak ingin terulang kembali di 2019, maka semua elite politik yang berlaga di Pilpres 2019, jangan memasuki ranah politik identitas. Pun, tidak menyinggung salah satu kelompok atau etnis yang ada di Indonesia. “Tak bisa dipungkiri, perkara 2017 itu ada yang memulai, Ahok misalnya. Sehingga, dipolitisasi oleh pihak lawan. Andaikan itu tak terjadi, mungkin Ahok yang menang,” kata Adi. [BCG]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.