Dark/Light Mode

Tantangan Medsos Pemilu 2024

Awas, Buzzer Politik Sebar Konten Hoax

Rabu, 19 April 2023 06:45 WIB
Ketua KPU RI Hasyim Asyari (kedua kiri), Anggota KPU Mochammad Afifuddin (kiri), Betty Epsilon Idroos (kedua kanan), dan Yulianto Sudrajat (kanan) memimpin Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi Daftar Pemilih Sementara (PDS) Tingkat Nasional Pemilu 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Selasa (18/4/2023). KPU RI telah menerima laporan rekapitulasi daftar pemilih sementara (DPS) dalam dan luar negeri untuk Pemilu 2024 dengan jumlah 205.853.518 orang. (ANTARA FOTO/Reno Esnir/tom).
Ketua KPU RI Hasyim Asyari (kedua kiri), Anggota KPU Mochammad Afifuddin (kiri), Betty Epsilon Idroos (kedua kanan), dan Yulianto Sudrajat (kanan) memimpin Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi Daftar Pemilih Sementara (PDS) Tingkat Nasional Pemilu 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Selasa (18/4/2023). KPU RI telah menerima laporan rekapitulasi daftar pemilih sementara (DPS) dalam dan luar negeri untuk Pemilu 2024 dengan jumlah 205.853.518 orang. (ANTARA FOTO/Reno Esnir/tom).

RM.id  Rakyat Merdeka - Fenomena buzzer politik dikhawatirkan menjadi sumber konten-konten hoax dan disinformasi serta informasi tak bertanggung jawab. Seluruh peserta Pemilu 2024 harus melaporkan dana kampanye sebagai bentuk akuntabilitas. Ada kemungkinan pengalokasian anggaran untuk jasa buzzer politik.

“Bisa saja buzzer digunakan peserta pemilu untuk mempromosikan dirinya. Mereka (peserta pemilu) menyewa (buzzer) tapi tidak terlapor di dana kampanye,” ujar Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati dalam keterangannya, kemarin.

Menurut Ninis-sapaan Khoirunnisa Nur Agustyati, fenomena buzzer politik juga menjadi tantangan tersendiri. Dikhawatirkan, buzzer politik menjadi sumber konten-konten hoax dan disinformasi serta informasi tak bertanggung jawab lainnya.

Baca juga : Jelang Pemilu 2024, Ratusan Kiai NU Siap Nyaleg Dari Hanura

“Ada tantangan bagi aparat penegak hukum maupun penyelenggara pemilu tak hanya mengetahui siapa aktor buzzer yang seringkali anonim di medsos, tapi juga melacak apakah dia terafiliasi dengan peserta pemilu,” kata dia.

Menurutnya, saat ini berbagai platform medsos sudah digunakan oleh partai politik (parpol) maupun kandidat calon peserta pemilu untuk mengenalkan diri ke masyarakat. Namun, medsos bak pisau bermata dua, satu sisi punya manfaat dalam hal pendidikan dan edukasi politik, tapi di sisi lain terdapat ruang abu-abu yang juga berpotensi menimbulkan disinformasi.

“Fokus penanganan disinformasi di medsos tidak bisa cuma ketika masa kampanye berjalan, tapi perlu dilakukan sejak dini,” saran dia.

Baca juga : Awas, Pinjol Ilegal Lagi Gencar Nyari Mangsa

Kata Ninis, hampir dipastikan mayoritas masyarakat Indonesia setiap hari meluangkan waktunya berselancar di medsos. Karena itu, dia mendorong diwujudkannya ekosistem digital yang demokratis menatap Pemilu Serentak 2024. Yaitu, kekuatan pada mendeteksi, menganalisis dan memperkuat.

Tidak menutup kemungkinan kembali terjadi pergeseran tren ancaman disinformasi pada tahun 2024. Hal ini berkaca dari pengalaman pemilu sebelumnya pada tahun 2014 dan 2019. Tren persoalan disinformasi mulai terjadi pada pesta demokrasi tahun 2014, kemudian Pilkada 2017, dan Pemilu Serentak 2019.

Adapun bentuk disinformasi pada tahun 2014, kata Ninis, punya tujuan untuk mengubah opini publik agar pilihan politik masyarakat berubah. Bentuk disinformasinya menyerang antar peserta pemilu.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.