Dark/Light Mode

Koalisi Masyarakat Sipil: Kemunduran Demokrasi Fakta Tak Terbantahkan

Sabtu, 4 November 2023 20:17 WIB
Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis Julius Ibrani (Foto: Istimewa)
Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis Julius Ibrani (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia minimum Capres-Cawapres menjadi sorotan media internasional. Handesblatt, media massa asal Jerman, menilai, pencawapresan Gibran Rakabuming Raka usai ada putusan MK sebagai bentuk politik dinasti yang merusak demokrasi. Sebelumnya, Time, media dari Amerika Serikat, menyebut bahwa putusan MK itu menyebabkan kemunduran demokrasi.

Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis menyebut, kemunduran demokrasi di Indonesia yang menjadi sorotan dua media internasional tersebut merupakan fakta persoalan politik yang nyata terjadi dan tak terbantahkan. "Terutama jika mencermati dinamika politik elektoral jelang 2024,” kata perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis Julius Ibrani, dalam keterangan tertulis, Sabtu (4/11).

Dia menegaskan, putusan MK yang kontroversial menjadi golden ticket khusus untuk Gibran, adalah puncak gunung es dari kemunduran demokrasi Indonesia. Kemunduran tersebut telah banyak diangkat sejumlah pakar dan analis politik, baik dari dalam maupun luar negeri, terutama berkaitan dengan menurunnya tingkat kebebasan sipil di Indonesia.

Baca juga : Sri Mul Happy, Sistem Keuangan Kita Terjaga

“Secara tegas, putusan tidak menurunkan batas usia 40 tahun yang membuka ruang bagi anak muda untuk berkarya di dunia politik, namun khusus dihadiahkan untuk Kepala Daerah dengan atribusi usia di bawah 40 tahun, dan hanya Gibranlah yang secara faktual dapat memanfaatkan golden ticket itu. Artinya, secara politik putusan itu ditujukan untuk kepentingan politik Gibran agar lolos menjadi bakal Cawapres,” terang Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) ini.

Dia memaparkan, konflik kepentingan yang terjadi akibat Ketua MK Anwar Usman adalah paman Gibran sekaligus hakim konstitusi yang mengabulkan Perkara Nomor 90 tersebut. Menurutnya, keterlibatan Anwar dalam putusan itu bukan hanya melanggar kode etik dan perilaku hakim, tetapi merupakan bentuk intervensi kekuasaan dalam putusan tersebut.

“Kami memandang, yang terjadi di MK dalam putusan Perkara Nomor 90 tersebut, merupakan bentuk kolusi, korupsi dan nepotisme yang terang benderang terjadi,” tegasnya.

Baca juga : Setan Merah Gagal Pertahankan Gelar

Hal ini, lanjut Julius, bertentangan dengan semangat reformasi yang memandatkan pentingnya menolak segala bentuk nepotisme sesuai TAP MPR XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Julius melanjutkan, dalam perspektif Pemilu, proses awal yang diwarnai putusan MK ini tentu akan mencederai proses pesta demokrasi yang akan dilakukan. Sebab, sedari awal sudah ada intervensi pada hukum dalam rangka melanggengkan dinasti politik.

“Sulit untuk dapat meraih proses pemilu yang demokratis dan hasil yang demokratis pasca putusan MK. Hal itu karena sejak dini ada intervensi pada lembaga yudikatif yakni Mahkamah Konstitusi,” terangnya.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.