Dark/Light Mode

Warning Ketua Bawaslu dan Pengamat

Ekonomi Rakyat Memburuk, Politik Uang Jadi Merajalela

Minggu, 5 Juli 2020 07:48 WIB
Ketua Bawaslu Abhan (Foto: Istimewa)
Ketua Bawaslu Abhan (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Transaksi politik uang masih kerap terjadi saat pemilu di Indonesia. Berdasarkan beberapa penelitian, kegiatan itu kian merajalela. Pasalnya, kondisi ekonomi rakyat saat ini makin buruk akibat dihantam pandemi corona.

“Di masa pandemi corona seperti ini, banyak masyarakat  mengalami kesusahan atau kesulitan ekonomi. Tentunya ini akan dimanfaatkan calon untuk meraup suara. Pemilih akan diserang dengan politik uang,” ujar Direktur Eksekutif Indonesia  Political Review (IPR) Ujang Komarudin di Jakarta, kemarin.

Dia berharap, Bawaslu dan KPK bisa lebih jeli melihat politik uang. Diprediksi, aksi ini akan menjamur di 270 daerah yang menggelar pilkada. “Jangan sampai demokrasi kita dikotori politik uang. Pada dasarnya setiap calon pasti akan menggunakan berbagai cara  untuk menang,” ujarnya.

Baca juga : Pilkada Serentak 2020 Berpeluang Ditunda Lagi

Soal adanya hasil survei bahwa masyarakat 3 pulau di Indonesia mau menerima politik uang, Ujang meminta seluruh pihak agar data itu bisa dijadikan perhatian serius dalam upaya pencegahan. “Walau dalam survei disebut  hanya tiga pulau saja. Saya rasa  pulau lainnya yang menggelar pilkada juga perlu diperketat pengawasannya. Yang jelas, kita semua tidak boleh lengah  dan mentolelir politik uang,” tegasnya.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memperkirakan potensi politik uang di pilkada tahun ini lebih tinggi dibandingkan beberapa pemilihan sebelumnya. Hal ini mengingat kondisi ekonomi masyarakat Indonesia memburuk akibat pandemi corona atau Covid-19. “Kondisi  pandemi ini ekonomi kurang baik, maka money politics bisa  tinggi,” beber Ketua Bawaslu Abhan dalam diskusi virtual.

Abhan memperkirakan modus politik uang berupa bantuan sosial diperkirakan marak terjadi di Pilkada 2020. Ada pula berbentuk pemberian bantuan alat  kesehatan dan alat pelindung diri (APD).

Baca juga : Ketua MPR: Jelang Penerapan Gaya Hidup Baru, Pastikan Warga Patuhi Protokol Kesehatan

Menurutnya, pemberian bansos, alat kesehatan, maupun APD  ini sah-sah saja dalam kondisi normal. Hanya saja, bagi-bagi uang jelang Pilkada 2020 akan disertai unsur politis. “Nantinya dia diminta untuk  memilih. Jadi unsurnya (politik uang) terpenuhi karena ada unsur untuk mengajak memilih,”  katanya.

Untuk mengantisipasi terjadinya politik uang pada Pilkada 2020, Abhan menilai sudah ada aturan yang melarang. Aturan ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016  tentang Pilkada. Sanksi politik uang bisa berupa pidana maupun  administrasi. “Bawaslu punya kewenangan untuk memproses secara ajudikasi dan sanksi paling berat  adalah memberikan putusan diskualifikasi,” pungkasnya.

Sebelumnya, lembaga survei Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) merilis hasil surveinya. SPD menyatakan, mayoritas masyarakat di Sumatera, Jawa dan Kalimantan mau menerima uang dari pasangan calon kepala daerah ketika pilkada tahun ini. Berdasarkan hasil survei, masyarakat di Sumatera yang mau  menerima politik uang sebesar 62,95 persen. Sedangkan di Jawa, masyarakat mau menerima politik uang 60 persen dan Kalimantan,  masyarakat mau menerima politik uang 64,77 persen. “Dari mereka yang kita tanyakan, sekitar 60 persen itu mau menerima politik uang,” kata Peneliti  Senior SPD Dian Permata dalam diskusi virtual, Kamis (2/7).

Baca juga : Digelar Desember, Pilkada Bisa Kuras Uang Negara

Dikatakan, kebanyakan masyarakat di ketiga pulau itu lebih memilih politik uang dalam bentuk tunai ketimbang barang. Hal ini sebagaimana hasil survei  yang menunjukkan, di Sumatera ada 64,26 persen masyarakat  memilih politik uang dalam  bentuk tunai. Di Jawa, masyarakat memilih politik uang dalam bentuk tunai 76,14 persen. Di Kalimantan, ada 67,72 persen masyarakat memilih menerima politik uang  dalam bentuk tunai. “Hampir 64 persen sampai  lebih dari 70 persen mengaku memilih uang. Ini bisa dibayangkan,” ungkapnya.

Bahkan, mayoritas masyarakat di ketiga pulau itu mau menerima politik uang dengan alasan rezeki tidak boleh ditolak. Di Sumatera, masyarakat yang  menerima politik uang dengan alasan itu sebesar 34,66 persen. Sedangkan di Jawa, masyarakat  menerima politik uang dengan  alasan rezeki tidak boleh ditolak 45,83 persen dan 36,84 persen  masyarakat di Kalimantan menerima politik uang dengan alasan sama.

Alasan kedua paling banyak  muncul ketika masyarakat di  Sumatera, Jawa, dan Kalimantan menerima politik uang karena  menganggapnya sebagai pengganti ketika tidak bekerja di hari pencoblosan. Alasan lain kerap  disampaikan masyarakat di Jawa, Sumatera dan Kalimantan ketika menerima politik uang karena membutuhkannya untuk  menambah keperluan sehari-hari. [EDY]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.