Dewan Pers

Dark/Light Mode

Polarisasi Akan Menguat?

Kamis, 30 Juni 2022 06:39 WIB
SUPRATMAN
SUPRATMAN

RM.id  Rakyat Merdeka - Kapan cebong-kampret-kadrun akan berakhir? Pada akhirnya, apakah akan ada pemenang? Atau, di titik tertentu akan terjadi blending serta perkawinan campur sehingga melahirkan varian baru? Atau, di ujungnya, keduanya akan mati, bersamaan?

Beberapa survei menyebutkan, masyarakat sudah muak dengan panasnya polarisasi. Masyarakat menilai, buzzer dan influencer sebagai penyubur polarisasi. Mereka ada di dua kubu.

Buzzer dan influencer bergerak di media sosial. Sementara masyarakat justru mendapat informasi atau berita dari media sosial.

“Parahnya” lagi, sebagian publik hanya mau mendengar atau membaca apa yang ingin mereka dengar dan baca. Dari influencer yang sekubu.

Berita Terkait : Membangun Warisan Politik Keluarga

Dari sini terjadilah kaderisasi polarisasi. Apalagi masing-masing kubu menghadirkan “musuh” yang dipersepsikan akan menghancurkan kelompoknya.

Ketakutan akan “musuh”, menguatkan polarisasi. Sama seperti Amerika Serikat yang dulu menjadikan komunis sebagai musuh. Atau Uni Sovyet yang menjadikan kapitalisme serta Barat sebagai pihak yang harus diperangi.

Musuh yang direkayasa atau musuh yang memang murni ada, terus diamplifikasi sehingga bisa memompa adrenalin permusuhan.

Selagi masih ada musuh, pihak A dan pihak B, polarisasi akan terus tumbuh. Setiap masalah akan selalu dilihat dari kacamata kubu masing-masing. Walaupun masalah tersebut sangat sepele. Bisa jadi sumber perpecahan.

 

Berita Terkait : Mengobati "Candu Politik"

Perpecahan antara lain dipicu oleh ideologi, pilihan politik saat pemilu, persoalan pribadi, misalnya diteror atau didoxing oleh kubu lawan.

Yang tak kalah pentingnya, adalah provokator serta kelompok yang memanfaatkan kondisi ini untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Polarisasi bukan hanya di Indonesia. Di Amerika Serikat, juga cukup tajam. Terutama di era Presiden Donald Trump. Akarnya, jauh sebelum itu, lewat Partai Demokrat dan Republik. Di Kongres dan Senat.

Tapi, berdasarkan penelitian PEW Research Center, sekarang sekat polarisasi itu sudah menipis. Di Kongres ke-92 tahun 1971-72 dan Kongres saat ini, kedua partai ini telah bergeser jauh dari pusat atau “karakter asli” mereka. Menjadi semakin abu-abu. Tumpang tindih. Demokrat menjadi agak Republik, Republik menjadi agak Demokrat.

Berita Terkait : Tangis-Tawa Di 2 Panggung

Tentu membandingkan kondisi ini dengan polarisasi di Indonesia, kurang pas. Tapi, paling tidak, selalu ada harapan untuk menghilangkan polarisasi ini. Walau butuh waktu, kemauan serta upaya semua pihak.

Kalau tidak, pada Pemilu 2024, polarisasi akan terus memanas dan mengkhawatirkan. Karena, sekarang saja, ketika seorang tokoh bangsa berpulang, bukan hanya diiringi ucapan “Innalillahi…” tapi juga ada sekelompok kecil yang mengucap “Alhamdulillah”.

Ini sungguh di luar akal sehat. Kalau sudah begini, mau dibawa kemana dan akan jadi apa bangsa ini ke depan. Sungguh mengerikan. ■