Dark/Light Mode

RM.id Rakyat Merdeka - Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang telah dikubur selama 21 tahun, akan dihidupkan kembali. DPA rencananya akan menggantikan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).
Rencananya, DPA akan disejajarkan dengan lembaga kepresidenan. Santer disebutkan bahwa ketua DPA akan diduduki Jokowi yang akan lengser pada Oktober 2024. Itulah kenapa muncul kekhawatiran, dua posisi sejajar ini akan melahirkan “matahari kembar”.
Dikembalikannya nomenklatur DPA muncul dalam RUU Wantimpres yang telah disahkan melalui rapat paripurna DPR pada Kamis (11/7) lalu. Pembahasannya akan dilakukan DPR di masa sidang mendatang. Saat ini DPR sedang reses. Sampai 15 Agustus.
Kalau cepat, UU mengenai DPA tersebut akan ditandatangani Presiden Jokowi sebelum lengser. Kalau tidak, akan ditandatangani Presiden Prabowo setelah dilantik, Oktober 2024.
Melahirkan kembali DPA sepertinya akan mulus-mulus saja. Walau, PDI-P lewat Ketua DPR Puan Maharani mewanti-wanti, “jangan sampai melanggar UUD”.
Baca juga : Urgennya Keteladanan
Presiden terpilih Prabowo juga punya jejak histori mengenai DPA, lembaga yang dibentuk September 1945. Ketua DPA pertama adalah kakeknya, R. Margono Djojohadikusumo. Orangtua dari begawan ekonomi Prof Soemitro Djojohadikoesoemo. Saat itu, anggotanya 11 orang. Di antaranya; H. Agus Salim, dr Radjiman Widiodiningrat dan dr Latumeten.
Sama seperti Wantimpres, DPA adalah lembaga yang bernuansa Indonesia. Di beberapa daerah, kita misalnya mengenal para tetua adat. Mereka adalah tokoh-tokoh yang sangat dihormati dan didengar nasihat dan pendapatnya. Levelnya semacam “dewa”. Mereka sudah selesai dengan dirinya sendiri.
Munculnya ide pembentukan DPA tidak terlepas dari rencana pembentukan President Club, seperti di Amerika Serikat. Lembaga ini diisi para mantan presiden.
Dari sini juga muncul ide untuk melahirkan Koalisi Besar yang akan dipimpin Jokowi. Ada pula ide untuk membentuk semacam Barisan Nasional seperti di Malaysia.
Akhirnya, finalnya, DPA. Diwacanakan, DPA antara lain diisi tiga orang mantan Presiden; Megawati, SBY dan Jokowi.
Baca juga : Kewajiban, Prestasi Dan Balotelli
Harapan kita, ketiga tokoh ini bisa bersatu. Ngantor bersama. Memberikan ide-ide, saran dan masukan untuk kemajuan bangsa. Menjadi negarawan sejati. Menjadi pandito. Bukan lagi politisi.
Dengan demikian, akan terjadi kesinambungan, sinkronisasi dan harmonisasi.
Walau diisi tiga mantan presiden, di DPA kita berharap tidak ada “tiga matahari”. Karena dengan dua matahari saja, bangsa ini sudah bingung, kepanasan dan terbakar. Selalu ada kekhawatiran dua matahari itu bertabrakan.
Yang ideal, tiga tokoh di DPA, kalau mereka bisa bersatu, akan menjadi bulan di malam hari. Sedangkan Presiden Prabowo menjadi matahari di siang hari. Tidak ada kembar-kembaran.
Dengan demikian, bangsa ini, akan tercerahkan siang-malam. Bangsa ini tidak akan nyasar karena ada sinar yang selalu menerangi dan menuntun.
Baca juga : “Bangun Pelabuhan Tanpa Akses”
Harapan kita, matahari dan bulan itu akan bersinar dan saling melengkapi sampai lima tahun ke depan. Bukan hanya setahun-dua tahun. Tapi selamanya, walau orangnya berganti-ganti. Itu harapan. Semoga terwujud. Kita tunggu saja.
Artikel ini tayang di Harian Rakyat Merdeka Cetak, Halaman 1 & 8, edisi Minggu, 14 Juli 2024 dengan judul "Bukan Tiga Matahari"
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.