Dark/Light Mode

Banalitas Dunia Maya

Minggu, 2 Desember 2018 07:56 WIB
SUPRATMAN
SUPRATMAN

RM.id  Rakyat Merdeka - Tidak perlu ke kebun binatang untuk “melihat” jenis binatang. Kita cukup masuk ke dunia maya. Telusuri media sosial. Di situ, berbagai macam nama binatang disebut sebagai ekspresi kebencian. Walaupun ketika menyebut nama binatang, beberapa hurufnya diganti tanda bintang (*), maksudnya untuk memperhalus, tetap saja, niatnya sudah tertanam.

Yang dimaksud, tetap binatang juga. Di antara rimba raya kebencian di media sosial itu, ada yang dikasuskan secara hukum. Namun, tidak sedikit yang lolos dan bebas-bebas saja. Yang dilaporkan, karena sedang sial saja. Atau, memang sedang ditarget.

Baca juga : Ramalan Serem

Saling serang dan saling benci, ledek-ledekan, olok-olok, hujatan, caci maki seperti ini, kian panas sejak Pilkada DKI Jakarta. Masyarakat terbelah secara tegas. Kubu-kubuan makin jelas. Media sosial menjadi tempat pertempuran dahsyat,seolah tanpa aturan. Seru. Panas. Sampai sekarang, menjelang Pilpres.

Apakah kubu-kubuan serta pertempuran tiada henti ini, salah satu penyebabnya karena hanya ada dua calon presiden? Mungkin saja. Perlu ada penelitian lebih lanjut. Kalau ada tiga atau empat calon, pertempuran dan saling serang tak akan sehebat ini. Konsentrasinya akan terpecah. Tidak akan hadap-hadapan atau head to head. Ini tentu saja terkait presidential threshold yang membatasi kandidat capres.

Baca juga : Berebut Pasar

Perlu dipikirkan dan dicari jalan keluarnya. Yang menyedihkan, pertarungan dua kubu yang berubah menjadi keberingasan di media sosial itu, seolah menjadi biasa. Wajar. Lumrah. Awalnya sih risih, ada nilai-nilai yang diterabas, dianggap tidak santun, melanggar norma, kasar dan sejenisnya. Tapi, lama kelamaan menjadi biasa-biasa saja. Seolah menjadi normal.

Hannah Arendt, seorang penulis dan jurnalis Amerika menyebutnya sebagai “banalitas kejahatan”. Arendt memunculkan istilah ini ketika sedang meliput persidangan petinggi NAZI, seorang penjahat perang. Banalitas, kata Arendt, terjadi ketika situasi, terutama kejahatan, tidak lagi dirasa sebagai kejahatan, tetapi sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Lumrah. Wajar. Direaksi datar-datar saja dengan raut muka yang datar juga. 

Baca juga : KPK, Guru Geografi

Disikapi sambil berucap, “memang begitulah adanya. Mau gimana lagi”. Di masa depan, orang akan lebih banyak “hidup” dan berinteraksi di dunia maya. Kaum milienal, tentu akan banyak belajar di hari ini, ketika suara dan ekspresi kebencian menjadi lumrah. Apakah lingkungan hidup media sosial seperti ini yang akan diwarisi kepada anak cucu kita?

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tags :