BREAKING NEWS
 

Pelibatan TNI Tegakkan Protokol Kesehatan Menuai Pro Kontra di Masyarakat

Tidak Pas Kalau Melibatkan TNI

Reporter : NANDA PRANANDA
Editor : MUHAMMAD RUSMADI
Senin, 10 Agustus 2020 21:43 WIB
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati [Foto: LBH Jakarta]

RM.id  Rakyat Merdeka - Presiden Joko Widodo menerbitkan instruksi agar TNI dan Polri menggiatkan patroli untuk mendisiplinkan warga di masa pandemi COVID-19 ini.

Perintah Jokowi tercantum dalam Inpres Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019.

Di situ tercantum perintah untuk Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Idham Azis. TNI dan Polri juga diperintahkan untuk membina masyarakat. Khusus untuk Polri, Jokowi menginstruksikan untuk mengefektifkan upaya penegakan hukum terhadap pelanggar protokol kesehatan.

Inpres ini juga memuat perintah agar para kepala daerah membuat aturan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Perintah Jokowi ini pun menuai pro-kontra. Banyak kalangan yang mengkritik pelibatan TNI, karena dianggap melampaui wewenang dan dikhawatirkan masuk ke ranah sipil atas pelibatan tersebut.

Pihak Istana Kepresidenan berbicara menenangkan warga. Masyarakat tidak perlu resah dengan patroli TNI dan Polri dalam suasana pandemi ini. Juru Bicara Presiden Bidang Hukum,

Dini Shanti Purwono menyatakan, tidak ada tugas dan fungsi yang dilampaui dalam pelibatan TNI, terkait aturan dan sanksi tentang protokol kesehatan di tengah pandemi Covid-19. Dini menuturkan, keterlibatan TNI diperlukan, mengingat situasi pandemi Covid-19 adalah suatu hal luar biasa dan sudah ditetapkan oleh Jokowi sebagai bencana nasional. Politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu mengatakan, Inpres itu bertujuan meningkatkan kedisiplinan masyarakat dalam melaksanakan protokoler kesehatan yang sudah ditetapkan.

Inpres itu juga telah menjelaskan instruksi kepada seluruh menteri, TNI, Polri, dan pemerintah daerah, untuk menerapkan sanksi dan mengawasi pelaksanaannya. Dengan demikian, kata Dini, pemda dapat membuat Inpres tersebut sebagai dasar hukum, untuk menyusun aturan maupun sanksi sesuai kearifan lokal daerah masing-masing.

Kenapa pihak yang kontra tidak mendukung pelibatan TNI? Bukankah sudah ada batasan yang jelas, sehingga tidak perlu khawatir TNI melampaui wewenang? Bagaimana pula pandangan pihak pendukung Inpres ini? Berikut wawancara dengan Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati:

Bisa jelaskan alasan Anda menolak untuk melibatkan TNI dalam mendisiplinkan masyarakat di masa pandemi?

Baca juga : Beda-beda, Nggak Apa-apa...

Saya tidak setuju itu ada beberapa alasan ya. Yang pertama adalah, karena fungsi TNI memang bukan untuk itu. Kalau dilihat Undang-Undang 34/2004 tentang TNI, fungsi dia itu sebagai alat pertahanan. Dia bisa menangkal ancaman militer, ancaman bersenjata dari luar dan dalam.

Terus, dia menindak tapi ancamannya untuk yang militer. Untuk pemulihan negara sebetulnya juga bisa, tapi masih terkait pertahanan, bukan soal kesehatan seperti sekarang.

Penyebab lainnya apa?

Yang kedua, karena tentara dilatih untuk berperang. Akibatnya, mereka terbiasa bertindak keras, karena kalau tidak begitu malah salah. Nah, dengan model pelatihan seperti itu, mereka jadi berpotensi melakukan tindakan represif. Ini kan sudah kita alami pada saat Orde Baru, ketika ada dwi fungsi ABRI, akibatnya mereka jadi represif.

Alasan berikutnya, kalau ada pelanggaran itu mau dibawa kemana. Misalnya ada orang melanggar terus dipukul, itu bagaimana. Karena, tentara sekarang masih menjadi subjek peradilan militer. Militer itu berdasarkan pengalaman kami lebih sulit.

Jadi sebetulnya undang-undang kita sudah menyadari, bahwa kasus biasa yang dilakukan tentara dibawa ke pengadilan militer itu tak tepat. Tetapi, undang-undangnya kan masih begitu. Jadi kalau kita melibatkan mereka, ya nanti akan ke pengadilan militer.

Ada alasan lain lagi?

Adsense

Karena ini masalahnya darurat kesehatan masyarakat, bukan darurat keamanan. Jadi tidak pas kalau melibatkan TNI. Protokol kesehatan itu kan bukan cuma diterapkan di ruang publik, tapi juga di ruang privat.

Artinya, itu nggak akan menyelamatkan orang juga, kalau hanya diawasi secara represif atau ditakut-takuti dengan TNI dan polisi. Harusnya yang dilakukan adalah diberi penyuluhan, informasi itu harusnya disebarkan ke pelosok-pelosok.

Baca juga : Pemprov Jatim Bagikan 26 juta Masker Gratis

Kalau mau polisi dan TNI diperbantukan, kalau nanti ternyata tenaga kesehatannya itu tidak cukup. Tapi, mereka jangan bergerak sendiri. Sebetulnya nggak harus TNI juga, karena tenaga kerja dari instansi lain juga masih ada, dari Kemensos misalnya.

Tujuan pelibatan ini agar masyarakat lebih disiplin karena ada yang mengawasi. Berarti menurut Anda cara ini tetap tidak efektif mengurangi penyebaran virus?

Mungkin dia akan disiplin ketika ada polisi atau TNI. Tapi, TNI dan Polri itu nggak mungkin mengawasi semuanya, nggak mungkin ada di tiap lingkungan rumah. Mereka paling adanya di tempat-tempat umum lainnya. Padahal banyak kasus di negara lain, dimana dia terinfeksi bahkan ketika hanya di rumah karena kesadarannya rendah.

Misalnya dia terima barang tapi nggak cuci tangan. Atau orang itu kan pasti harus keluar ya, entah untuk beli makanan atau apa. Karena kesadaran dia rendah, akbatnya tidak menerapkan protokol kesehatan. Artinya, keberadaan TNI ini juga nggak menjamin. Kondisi saat ini sebetulnya adalah sebuah kegagalan ya.

Sekarang ini kan sudah ada status darurat ya. Tapi penyebaran masih saja terus masif. Artinya, Kemenkes sebagai penanggung jawab di atas, kurang memberikan pemahaman kepada masyarakat, mengenai apa yang harus dilakukan dalam masa pandemi ini.

Apa menurut Anda yang harusnya dilakukan supaya masyarakat bisa disiplin dan virus tidak terus menyebar?

Pertama memang ada kesalahan sejak awal ya, termasuk dalam memperkenalkan new normal itu. Komunikasi pemerintah ini kan dibuat agar masyarakat nggak panik, sehingga tidak memberitahukan yang sebenarnya kan. Jadi sejak awal komunikasinya pemerintah itu menyederhanakan, dan mendorong publik untuk tidak menganggap pandemi ini dengan serius. Pasar sudah dibuka, lalu mall juga dibuka.

Penerbangan cukup pakai hasil rapid test, sementara hasil rapid test itu kan nggak akurat. Akibatnya kan masyarakat akan menganggap ini sepele. Itu yang menurut saya harus diperbaiki dulu. Pemerintah itu harus bisa menujukkan, bahwa ini ada persoalan serius. Jadi pemerintah harus segera menerjunkan para penyuluh, petugas kesehatan dan yang lain, untuk memberikan penyuluhan tentang bahaya Covid-19.

Terus ada bayak medianya pemerintah kan. Manfaatkan itu untuk menggugah kesadaran publik, bahwa ini adalah persoalan serius. Kalau sekarang kan kondisinya sebaliknya. Kemarin ada survei yang menyatakan, bahwa warga percaya pandemi ini hoaks justru karena mendengarkan pemerintah.

Baca juga : Mahfud Tak Akan `Cuci Tangan`

Kalau soal pasar dan mall dibuka itu kan lebih karena faktor ekonomi. Menurut Anda itu salah?

Ya katanya kan sekarang harus ada keseimbangan antara ekonomi dan kesehatan. Tapi kenyataannya kan tidak ada keseimbangan, karena sepertinya lebih berat untuk faktor ekonomi. Padahal masyarakat miskin kan nggak terbantu dengan dibukanya mall. Jadi ekonomi yang dilindungi itu sepertinya bias ya.

Menurut koalisi yang memantau pandemi ini, sebetulnya ini karena ngaco dari awalnya. Sebetulnya kalau dari awal diperketat, sekarag angkanya bisa turun, maka ekonomi bisa dibuka. Kalau dulu ada karantina wilayah, maka akan ada daerah yang aman. Dengan begitu, dia bisa melaksanakan aktivitas ekonomi sambil melaksanakan protokol kesehatan.

Berarti sekarang yang diperlukan adalah sosialisasi mengenai bahayanya Covid-19 ya, bukan libatkan TNI?

Betul, bukan mengecilkan persoalan supaya orang nggak panik. Kan kalau nggak panik, orang jadi nggak serius. Saya ngalamin sendiri sebetulnya, dimana banyak orang yang nggak percaya adanya Covid-19. Mereka anggap ini cuma konspirasi dan sebagainya.

Ada masukan terkait pelibatan TNI ini?

Yang dilibatkan bukan aparat keamanan, apalagi pertahanan seperti TNI. Harusnya para praktisi kesehatan masyarakat yang di garda depan. Yang perlu dilakukan adalah dengan mengubah komunikasi publik. Jangan karena alasan supaya nggak panik, malah jadi menutup-nutupi fakta, menutup-nutupi data dan lain-lain. Akibatnya akan sangat berbahaya. Selain itu, kita juga bisa belajar dari negara-negara lain. NDA

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tags :

Berita Lainnya
 

TERPOPULER

Adsense