RM.id Rakyat Merdeka - Bowo Sidik hanya sial saja. Masih banyak “koruptor” lainnya yang bernasib baik. Tidak ditangkap. Belum juga diproses. Atau, sudah ketahuan, jelas dan terang benderang, tapi belum ditindaklanjuti aparat penegak hukum.
Bowo Sidik Pangarso, anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Golkar ditangkap KPK pada Rabu malam (27/3). Dalam OTT tersebut diamankan uang Rp 8 miliar. Pecahannya, Rp 20 ribu dan Rp 50 ribu.
Dikemas dalam 400 ribu amplop. Dimasukan ke dalam 84 kardus. Diangkut tiga mobil mini bus. Banyak sekali. KPK menduga uang tersebut akan digunakan untuk “serangan fajar” menjelang pemilu 17 April mendatang.
Bowo kembali maju sebagai caleg Golkar dari Jawa Tengah. Serangan fajar, politik uang, membeli suara rakyat, menyogok rakyat, biasanya dilakukan H-1 atau H-2 jelang pencoblosan. Ini seperti menjadi tradisi pemilu, sisi hitam demokrasi.
Baca juga : Jokdri Tak Sampai Final
Istilah Serangan Fajar diambil dari judul film Serangan Fajar, produksi 1982. Film tersebut menjadi tontonan wajib di era Orde Baru karena menggambarkan kepahlawanan Soeharto.
Hanya empat bulan setelah Soeharto tumbang, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah menegaskan bahwa film tersebut tidak lagi menjadi tontonan wajib. Serangan Fajar dianggap memanipulasi sejarah.
Baca juga : Jendela Pecah, MRT Dan 3 M
Meski Serangan Fajar tak lagi menjadi tontonan wajib, tapi serangan fajar menjelang pemilu menjadi “kewajiban” bagi sebagian caleg. Tentunya caleg yang punya uang. Dari mana uang itu? Bisa uang sendiri, bisa pula dari hasil korupsi, suap menyuap.
Selanjutnya
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.