Dark/Light Mode

Petisi “Selamatkan Sagu Papua” Menggema

Warga Tinggalkan Panganan Lokal Dan Beralih Ke Beras

Rabu, 26 Juni 2019 10:21 WIB
Pegiat kuliner Papua, Charles Toto prihatin dengan banyaknya hutan sagu di Papua yang dibabat untuk perumahan dan perkebunan sawit. (Foto : Doc. change.org).
Pegiat kuliner Papua, Charles Toto prihatin dengan banyaknya hutan sagu di Papua yang dibabat untuk perumahan dan perkebunan sawit. (Foto : Doc. change.org).

RM.id  Rakyat Merdeka - Dalam peringatan Hari Sagu 21 Juni lalu, keberadaan pohon sagu sebagai penghasil pangan lokal Papua belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Pangan lokal mulai tergerus. Budaya mengkonsumsi dan memanfaatkan sagu mulai pudar.

Dalam petisinya di Change. org yang sudah mendapat 238 ribu dukungan, pegiat kuliner Papua, Charles Toto prihatin dengan banyaknya hutan sagu di Papua yang dibabat untuk perumahan dan perkebunan sawit. Saat bersamaan, penduduk miskin di Papua menjadi sasaran program beras untuk rakyat miskin (Raskin).
 
“Dari daun sagu, kitorang bisa membuat pakaian dan noken yang indah. Dari kulit kayu pohon sagu, kitorang bisa membuat rumah yang kuat. Dari pati sagu, kitorang bisa membuat makanan bergizi mengandung karbohidrat dan protein tinggi untuk dihidangkan di meja makan,” katanya. 

Charles mengungkapkan, pembabatan hutan sagu yang paling parah terjadi di Merauke dan Jayapura. Kedua wilayah tersebut belakangan mengalami bencana. Di Asmat, Merauke, pernah terjadi kelaparan.“Bayangkan, kelaparan di tengah lahan sagu. Karena masyarakat sudah tergantung dengan raskin,” ujarnya. 

Sedangkan di Jayapura, tepatnya di Sentara terjadi banjir akibat ditebangnya hutan sagu untuk perumahan dan jalan. Sementara, di Papua Barat, hutan sagu juga dibabat habis hanya untuk perkebunan jagung dan sawit milik perusahaan besar. 

“Kami meminta Gubernur Papua dan Papua Barat segera membuat peraturan untuk melindungi keberadaan hutan sagu yang masih tersisa di tanah Papua. Dengan adanya pergub, kami yakin hutan sagu akan lebih terlindungi dari pembangunan dan perkebunan yang selama ini terus menggerus keberadaan sagu,” kata Charles. 

Baca juga : Warga Desak Hapus Perizinan Tambang

Sejumlah warganet memberikan dukungan dalam petisi itu. Auliya menuturkan, sagu itu salah satu bahan pangan unik. “Jangan biarkan hutan sagu sampai punah, apalagi sagu adalah makanan pokok khususnya bagi orang Papua,” katanya. 

Senada dengan itu, Sahrial menyebutkan, keberadaan sagu penting sebagai makanan pokok asli Papua. “Mendukung kegiatan perlindungan ketahanan pangan Papua bagi kelangsungan hidup saudara-saudara saya di Papua,” ujarnya. 

Hamid menceritakan, tak hanya di Papua, di Halmahera pun hutan sagu juga mulai habis. “Saya juga orang Halmahera, pohon sagu juga mulai habis, untuk itu saya sampaikan pada teman-teman dari Papua, Selamat Hari Sagu, semoga selalu sukses,” tulisnya. 

Sama halnya yang disampaikan Dalilah. Di Maluku, keberadaan sagu sebagai makanan pokok juga mulai dilupakan. “Saya lahir di Ambon, saya sama-sama makan sagu dan saya ingin bahan pokok Indonesia Timur ini bisa terus dinikmati kita semua dan anak cucu di hari depan,” katanya. 

Hal ini ditegaskan peneliti sagu dari Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon, Wardis Girsang. Menurutnya, masyarakat lokal Maluku mulai meninggalkan sagu. Mereka mulai beralih ke beras. 

Baca juga : Pertamina Hadirkan Pangkalan LPG dan SPBU Lebih Banyak

“Provinsi Maluku merupakan daerah penghasil dan pengonsumsi sagu sebagai makanan pokok, tetapi yang terjadi saat ini masyarakat lokal mulai meninggalkan sagu dan beralih mengonsumsi beras,” katanya 

Wardis mengatakan, masyarakat yang mengolah sagu saat ini sangat sedikit jumlahnya. Hal tersebut berdampak pada kenaikan harga sagu karena produksi sagu sedikit dan harganya menjadi lebih mahal dari beras. 

Padahal, menurutnya, sagu menghasilkan pati kering sumber karbohidrat dan bisa diolah menjadi bioenergi. Potensi sagu Maluku belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini diperparah dengan masyarakat setempat yang perlahan meninggalkan sagu dan beralih ke sumber karbohidrat lain. 

“Perubahan ini dikarenakan program pemerintah untuk mengatasi krisis pangan melalui program raskin yang saat ini lebih dikenal dengan rastra atau beras sejahtera, hal ini yang menyebabkan masyarakat lebih memilih konsumsi beras dibandingkan pangan lokal,” ujarnya. 

Selain itu, papar Wardis, sagu juga memiliki kadar kalori yang hampir sama dengan jagung dan beras, dan lebih mudah dibudidayakan. “Sagu menyimpan air, patinya banyak dan tahan dengan perubahan iklim, berbeda dengan padi yang rentan terhadap hama dan penyakit dan banyak menghasilkan gas metan ke udara sehingga mempengaruhi pemanasan global,” katanya. 

Baca juga : Jokowi Minta Stok dan Harga Pangan, Serta Pasokan BBM Dikawal Ketat

Sebagai bahan pangan pokok sebagaimana beras dan jagung, mestinya sagu bisa terus memperkaya ragam pilihan makanan pokok warga. 

“Potensi sagu sangat besar, jika dikembangkan oleh pemda akan menjadi penyangga pangan nasional, yang dimulai dengan merawat hutan sagu dengan tidak mengalihkan fungsinya, serta memproduksi sagu menjadi produk yang beragam dan diminati masyarakat,” kata Wardis. 

Menurutnya, Pemerintah Provinsi Maluku telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Pelestarian Sagu namun penerapannya belum diperhatikan secara serius. 

“Sagu harus ditanam dan dirawat dengan baik dengan pengelolaan dari hilir sampai hulu sehingga masyarakat kembali mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokok, dan makanan olahan sagu semakin beragam,” katanya. [OSP]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.