Dark/Light Mode

5 Faktor Ini Bisa Turunkan Harga Minyak Dunia, Meski Konflik Ukraina Awet

Sabtu, 18 Juni 2022 19:06 WIB
Ilustrasi kilang milik raksasa minyak Rusia, Irkutsk di Siberia Timur. (Foto: Net)
Ilustrasi kilang milik raksasa minyak Rusia, Irkutsk di Siberia Timur. (Foto: Net)

RM.id  Rakyat Merdeka - Mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar angkat bicara soal tingginya harga minyak dunia, yang antara lain dipicu oleh perang Rusia-Ukraina.

Seperti diketahui, sejumlah lembaga ekonomi dunia memprediksi, harga minyak yang saat ini berkisar antara 110-120 dolar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp 1,6 - 1,8 juta per barel, masih bisa melonjak tinggi.

Goldman Sachs, misalnya. Perusahaan multinasional AS yang bergerak di bidang jasa keuangan dan investasi perbankan itu meramal, rata-rata harga minyak Brent pada semester II-2022 hingga semester I-2023 akan menyentuh angka 135 dolar AS atau sekitar Rp 2 juta per barel.

Perusahaan minyak global juga memperkirakan, harga minyak dunia masih bisa merangkak hingga sekitar 10 dolar AS atau sekitar Rp 150 ribu per barel, dari harga rata-rata saat ini.

Baca juga : Aksi Nyata Zulhas Turunkan Harga Migor Ditunggu Lho

"Secara logika, kalau ada faktor yang bisa menaikkan harga, pasti ada faktor yang bisa menurunkannya. Sekalipun konflik Ukraina masih terus berlangsung," kata Arcandra melalui akun Instagramnya, Sabtu (18/6).

Arcandra yang kini menjabat Komisaris Utama PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk berpendapat, harga minyak dunia bisa turun, bila salah satu dari lima faktor terpenuhi.

Pertama, negosiasi masalah nuklir Iran mencapai titik temu. Sehingga, sanksi yang diberlakukan selama ini bisa dicabut.

Dengan dicabutnya sanksi ini, Arcandra yakin, suplai minyak dunia bisa bertambah. Setidaknya, hingga 2.5 juta bpd atau sekitar 2,5 persen kebutuhan dunia.

Baca juga : PAN Pede, Zulhas Bisa Sukses Turunkan Harga Minyak Goreng Cs

"Artinya, suplai minyak Rusia yang diperuntukkan bagi ekspor sebesar 4 juta bpd, sebagian besar bisa diatasi dari Iran. Sisanya, bisa diperoleh dari peningkatan produksi di lapangan minyak yang ada di Arab Saudi, Kuwait dan Uni Emirat Arab (UEA)," jelasnya.

Kedua, sanksi ekonomi yang selama ini diberlakukan terhadap Venezuela, dicabut sebagian. Terutama, yang menyangkut kegiatan eksplorasi dan produksi migas.

Seperti kita tahu, Venezuela memiliki cadangan minyak terbesar di dunia, melebihi Arab Saudi.

"Memang tidak mudah, untuk mengaktifkan kembali lapangan-lapangan minyak yang sudah lama ditinggalkan. Selain memerlukan waktu panjang, juga membutuhkan dana yang tidak sedikit," papar Arcandra.

Baca juga : Teleponan Sama Putin, Xi Tegaskan Niat Bantu Akhiri Konflik Ukraina

Tapi paling tidak, lanjutnya, pencabutan sanksi ini memberikan sinyal kepada market, tentang adanya potensi suplai yang bisa menggantikan minyak Rusia.

Ketiga, melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia akibat naiknya berbagai macam harga komoditas, berkontribusi terhadap tingginya inflasi.

Saat ini, negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat, mengalami inflasi di luar dugaan mereka.

"Melambatnya pertumbuhan ekonomi ini, tentu akan menekan kebutuhan terhadap migas. Sehingga, dapat mendorong harga minyak turun," terang alumnus S2 dan S3 dari A&M University, Texas, AS.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.