Dark/Light Mode
BREAKINGNEWS
RM.id Rakyat Merdeka - Skema batasan jumlah produksi yang menjadi dasar utama penetapan struktur tarif cukai hasil tembakau (CHT) dinilai berpotensi membuka peluang penghindaran cukai yang membuat penerimaan negara tidak optimal.
Akademisi Hukum UGM Oce Madril menjelaskan, penelitian yang dilakukannya sepanjang tahun 2021 menunjukkan, ada beberapa potensi penghindaran yang bisa muncul dari skema struktur tarif cukai saat ini.
Hal tersebut terjadi antara lain karena lebarnya selisih tarif cukai rokok antara golongan I yang paling tinggi dengan golongan II yang lebih murah.
"Dengan selisih tarif yang lebar antara golongan I dan II, maka pengusaha cenderung memilih masuk dalam golongan II, meskipun sebenarnya secara kemampuan produksi, mereka masuk dalam kategori golongan I. Pengusaha yang masuk dalam golongan II tersebut tentu akan membayar tarif cukai yang jauh lebih murah," katanya, Kamis (7/7).
Baca juga : Khofifah Bisa Kalahkan Puan
Saat ini, pabrikan dengan produksi lebih dari 3 miliar batang rokok per tahunnya akan masuk dalam golongan I, dan masuk ke dalam golongan II jika produksinya tidak lebih dari 3 miliar batang rokok.
Salah satu modus yang dapat terjadi untuk menghindari membayar cukai tinggi adalah tidak melaporkan produksi secara benar dan faktual.
Apalagi jika pengawasan yang dilakukan lemah, maka pelanggaran jenis ini dapat terjadi. Modus ini bisa terlihat ketika terjadi selisih antara jumlah pelekatan pita cukai dengan jumlah produksi yang dilakukan perusahaan.
Oce menegaskan, praktik modus tidak melaporkan jumlah produksi rokok secara benar dapat merugikan penerimaan negara.
Baca juga : Menko PMK: Kekayaan Rempah Harus Bisa Harumkan Indonesia
Praktik tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk menghindari tarif cukai tinggi, mengingat penetapan golongan tarif sangat berkaitan dengan jumlah produksi dalam satu tahun.
Kedua, perusahaan dapat menahan produksi rokok. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan agar produksi mereka tetap berada di bawah 3 miliar dan menikmati tarif cukai yang lebih murah.
Untuk menghindari potensi kerugian negara, Oce merekomendasikan Pemerintah mengubah skema jumlah produksi yang menjadi dasar penggolongan pabrikan rokok. Usulan yang lebih moderat angka produksi 2 miliar dapat dijadikan sebagai ambang batas.
Sebagaimana yang sebelumnya pernah diterapkan untuk semua jenis rokok berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 179/PMK.011/2012.
Baca juga : Dubes Inggris Ngarep Jokowi Sukses Bikin Rusia-Ukraina Akur
Dengan menetapkan batasan jumlah produksi ke angka 2 miliar, maka ambang batas dikembalikan pada kebijakan ambang batas semula.
Dengan begitu, pabrikan yang memproduksi di bawah 2 miliar masuk dalam golongan II dan untuk pabrikan dengan produksi lebih dari 2 miliar batang akan masuk dalam golongan I.
Selanjutnya
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tags :
Berita Lainnya