Dark/Light Mode
BREAKINGNEWS
Pemerintah Kudu Perhatikan Sektor Industri Yang Belum Pulih
Jumat, 20 Januari 2023 09:08 WIB
RM.id Rakyat Merdeka - Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi INDEF Andry Satrio Nugroho mengatakan, pemerintah bisa memberikan insentif bagi industri yang terdampak karena pandemi dan pelemahan ekonomi dunia.
“Kalau ditanya terkait bagaimana kita bisa menjaga sektor manufaktur, maka perlu dilihat kembali sektor mana yang cukup terdampak akibat Covid-19 yang hingga sekarang belum terlihat pemulihannya, dan inilah yang harus dipetakan oleh Kemenperin,” tegas Andry, Kamis (19/1).
Sejak pandemi sampai dengan masa pemulihan sekarang, masih ada industri yang belum pulih.
“Kalau kita lihat justru pemetaan dari sub sektor yang masih terdampak masih belum cukup pulih. Belum ada kebaruan. Ini yang menurut saya perlu kembali diingatkan kepada pemerintah,” jelas Andry.
Misalnya saja, industri tekstil dan alas kaki. Mereka sangat terdampak dan belum pulih sampai dengan sekarang. Mereka digempur produk impor dan juga menurunnya permintaan dari luar negeri.
Selain itu tingginya inflasi ini masih belum bisa memulihkan kinerja subsektor industri dalam negeri yang sudah berbasis ekspor.
Baca juga : Retno Bete Ke Israel
“Mungkin kalau saya bisa bilang mayoritas ekspor seperti tekstil pakaian jadi, alas kaki dan sebagainya,” kata Andry.
Alhasil, ketika pemerintah mengetahui industri mana yang bisa diselamatkan, maka extra effort mesti diberikan ke sana. Dia menilai, sejauh ini banyak kebijakan yang tidak tepat sasaran.
“Salah satunya mungkin kalau bisa kita sebutkan seperti mobil listrik, fasilitasi subsidi dari mobil dan motor listrik itu kan semata-mata bukan menguntungkan industri, justru menguntungkan dealer-dealer dan juga pedagang mobil dan motor,” ungkap Andry.
Pemerintah pun diminta memberi perhatian khusus pada industri yang terdampak, selain tentunya menggali potensi ekspor dan hilirisasi.
“Kembali lagi yang dikejar itu sebetulnya apa, dan apa yang diprioritaskan di tahun ini,” tandas Andry.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah tetap optimis, waspada, dan antisipatif. Pemerintah juga menyiapkan berbagai strategi dan kebijakan agar target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen (yoy) di tahun 2023 dapat tercapai.
Baca juga : KPK Periksa Istri Dan Anak Lukas Enembe
“Kalau kita bicara global, memang global masih ada awan hitam, bahkan Managing Director IMF mengatakan Indonesia itu adalah the bright sight in the dark. Nah, tentu Indonesia berharap, punya resiliensi di tahun 2023,” ujar Airlangga yang juga Ketua Umum Partai Golkar ini.
Untuk menjaga kinerja sektor manufaktur, Airlangga mengatakan bahwa Pemerintah perlu optimis, tetap menjaga demand, serta melakukan tindak lanjut hilirisasi dan pengembangan ekosistem di sektor manufaktur.
Sedangkan dari sektor riil, Pemerintah akan meningkatkan kinerja industri berorientasi ekspor yang semakin berdaya saing.
Pemerintah, lanjut Airlangga, juga telah menetapkan kebijakan larangan ekspor bauksit yang akan berlaku mulai Juni 2023.
Dia mengungkapkan sebagian besar kebutuhan alumina masih impor, sehingga pembangunan smelter di dalam negeri menjadi prospek yang menjanjikan.
Menanggapi itu, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, kebijakan tersebut tidak akan berimbas pada dinamika pertumbuhan ekonomi tahun 2023, meski tetap akan berpengaruh terhadap neraca dagang Indonesia.
Baca juga : Usai Bentrokan Maut Pekerja GNI, Mahfud Pastikan Situasi Morowali Kondusif
"Memang pelarangan ekspor akan mempengaruhi kinerja neraca dagang, tapi juga kita perlu melihat bagaimana kinerja dari komoditas lain di luar bauksit," ungkapnya.
Menurut Yusuf, pelarangan bauksit itu harus dilihat dengan perspektif jangka panjang.
“Yang perlu dilihat dari kebijakan ini adampak jangka panjang yang diharapkan. Karena kita tahu proses dari hilirisasi adalah menambah nilai tambah suatu produk untuk menjadi lebih besar dibandingkan posisi sebelumnya," jelasnya.
Berkaca pada kebijakan pelarangan ekspor nikel, kebijakan itu tidak mempengaruhi kinerja ekspor nikel satu tahun, tetapi baru berdampak pada 3-4 tahun setelahnya.
Diharapkan, dengan semakin banyak smelter proses dari pelarangan, biji bauksit ini bisa diolah di dalam negeri.
“Jadi, nanti diolah menjadi produk dengan nilai tambah yang lebih besar," pungkasnya.■
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tags :
Berita Lainnya