Dark/Light Mode

Biomass Water Heater: Menuju Industri Perhotelan Indonesia yang Ramah Lingkungan

Kamis, 18 April 2024 22:50 WIB
Ilustrasi Food Waste (Foto: lens.monash.edu)
Ilustrasi Food Waste (Foto: lens.monash.edu)

Pasca hantaman pandemi COVID-19 yang membuat industri pariwisata lesu, bisnis perhotelan di Indonesia diproyeksi akan mengalami tingkat pertumbuhan tahunan gabungan hingga 12% dengan nilai pasar diprediksi mencapai 275 triliun pada tahun 2026 (Technavio, 2022). Peningkatan yang masif ini tentu menjadi angin segar namun di sisi lain terselubung rintangan akan semakin tingginya energi yang digunakan dan emisi yang dihasilkan.

Hotel adalah salah satu jenis bangunan yang paling boros energi karena fungsinya yang multi-guna dan beroperasi hampir sepanjang waktu, sehingga menghasilkan tingkat emisi yang cenderung tinggi (Dean, 2023). Salah satu faktor penyumbangnya adalah keinginan operator hotel untuk menjamin kenyamanan tamu yang diikuti oleh bertambah besarnya penggunaan energi, terutama pada penggunaan air, khususnya air panas.

Fasilitas air panas menjadi salah satu layanan yang membutuhkan perangkat dengan konsumsi energi cukup tinggi, utamanya jika menggunakan electric water heater (Pinto dkk., 2017). Untuk itu, diperlukan peralihan energi konvensional ke energi terbarukan terhadap sumber listrik perangkat pemanas air sehingga penghematan dapat tercapai. Salah satu pendekatan yang cukup umum dilakukan adalah dengan menggunakan panel surya. Hanya saja, panel surya memerlukan biaya awal dan perawatan yang cukup mahal, tidak lupa masalah intermitensi karena sinar matahari tidak bersinar sepanjang waktu (Ebeid, 2024). Menjawab persoalan tersebut, alternatif lain yang dapat diandalkan adalah dengan menggunakan pemanas air berbasis biomassa.

Tentang Pemanas Air Berbasis Biomassa

Gambar 1. Mekanisme Dasar Biomass Water Heater (Paul dkk., 2016)

Baca juga : BNI Dukung UMKM Tembus Pasar Singapura di Pameran Indonesia in SG

Prinsip kerja yang diterapkan sebenarnya sangat sederhana, yaitu dengan membakar bahan bakar untuk menghasilkan panas yang kemudian digunakan untuk memanaskan air. Pemanas air berbasis biomassa atau Biomass Water Heater menggunakan bahan organik seperti kayu atau limbah pertanian lainnya sebagai bahan bakar dan dapat beroperasi secara batch atau kontinyu. Dampaknya terhadap lingkungan relatif lebih rendah karena biomassa dianggap sebagai karbon netral.

Mengacu pada ilustrasi Gambar 1, pembakaran biomassa terjadi di dalam combustion chamber atau ruang pembakaran yang berbentuk silinder dengan cerobong ditempatkan di atasnya untuk menjaga aliran udara yang tepat selama proses pembakaran biomassa. Air kemudian dimasukkan melalui water inlet untuk kemudian dialirkan menuju pipa yang bersinggungan langsung dengan ruang pembakaran sehingga perpindahan panas dapat terjadi. Perpindahan panas dari ruang bakar ke air meningkat seiring dengan bertambahnya luas kontak antara air dan ruang bakar. Air panas kemudian dialirkan melalui outlet untuk kemudian diteruskan menuju sistem perpipaan air panas.

Kelayakan Ekonomi

Studi kelayakan ekonomi dilakukan oleh Paul, dkk. (2016) dengan melihatnya dari segi penghematan bahan bakar dan biaya operasional lalu dibandingkan dengan pemanas air konvensional (electric water heater) dan pemanas air berbasis LPG. Hasilnya, untuk memanaskan 80 liter air hingga mencapai suhu 50-60 derajat Celsius, biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan bahan bakar pemanas air berbasis biomassa dapat mencapai 75% lebih hemat jika dibandingkan dengan pemanas air konvensional, dan 64% lebih hemat dibandingkan dengan pemanas air berbasis LPG.

Besarnya persentase penghematan dapat berbeda tergantung dengan besarnya skala industri dan besarnya harga per satu satuan unit tiap bahan bakar. Namun dengan kelebihan pemanas air berbasis biomassa yang dapat menggunakan material organik sepenuhnya, jika asumsi ketersediaan bahan bakar organik dengan mengandalkan limbah makanan atau limbah organik lainnya dari industri perhotelan dapat diterapkan sepenuhnya sehingga tidak mengeluarkan biaya apapun untuk pengadaan bahan bakar organik, maka biaya operasional pemanas air berbasis biomassa akan selalu lebih rendah dibandingkan dengan pemanas air konvensional maupun LPG.

Nilai Keberlanjutan

Baca juga : Indonesia Minta Dewan Keamanan PBB Segera Bertindak

Indonesia dinominasikan sebagai negara penghasil sampah makanan terbesar kedua di dunia yang membuang sekitar 300 Kg sampah makanan per orang setiap tahunnya. Studi terbaru Bappenas, Waste4Change, dan WRI Indonesia juga mengungkapkan bahwa jumlah sisa makanan dan pangan terbuang di Indonesia pada tahun 2000-2019 mencapai 23-48 juta ton per tahun. Selain itu, sisa makanan dan pangan terbuang juga mampu menghasilkan emisi setara dengan 7,29% rata-rata emisi Indonesia per tahun jika tidak dikelola dengan baik.

Oleh sebab itu, inovasi pemanfaatan pemanas air berbasis biomassa khususnya jika diterapkan di industri perhotelan dan pariwisata yang rawan akan sisa makanan dan pangan terbuang dapat turut berkontribusi dalam upaya mengusung konsep zero waste karena bahan bakarnya yang berbasis bahan bakar organik, tak terkecuali sisa makanan dan pangan terbuang. Sehingga selain urgensi untuk konservasi energi, pemanas air berbasis biomassa juga memiliki kelebihan dalam hal ramah lingkungan.

Penutup

Dengan keunggulan tingkat pemanfaatan panas yang tinggi, konservasi energi, ramah lingkungan, serta kemudahan operasional dan biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan pemanas air konvensional, pemanas air biomassa dapat menjadi alternatif yang patut dipertimbangkan untuk mendukung operasional industri khususnya industri perhotelan dan pariwisata agar lebih berkelanjutan dengan mengusung konsep zero waste. Kedepannya, pemanas air biomassa memiliki potensi untuk dikembangkan lebih lanjut, seperti diaplikasikan untuk skala rumah tangga dan industri lainnya, diintegrasikan dengan pemanas ruangan (space heater), serta dikembangkan menjadi pembangkit listrik untuk menyuplai listrik tambahan ketika air panas sedang tidak digunakan.

Daftar Pustaka

Bappenas. (2021). Executive for Policy Makers Food Loss and Food Waste in Indonesia. Jakarta: Kementerian PPN.

Baca juga : Dubes Heri: Lebaran Momentum Diaspora Indonesia Pererat Silaturahmi

Dean, P. (2023, November 30). ESG, Climate Change and the Hospitality Industry. Retrieved from Linkedin: https://www.linkedin.com/pulse/esg-climate-change-hospitality-industry-paul-dean-butgc/

Ebeid, H. (2024, February 15). What are the advantages and disadvantages of solar energy? Retrieved from Linkedin: https://www.linkedin.com/pulse/what-advantages-disadvantages-solar-energy-hany-ebeid-xql0f/

Paul, A., Kumar, H., Panwar, N., & Kharpude, S. (2016). Experimental Investigation of Eco Friendly Biomass Fired Water Heating System. Waste Biomass Valor, 1491-1494.

Pinto, A., Afonso, A., Santos, A., Pimentel-Rodrigues, C., & Rodrigues, F. (2017). Nexus Water Energy for Hotel Sector Efficiency. Energy Procedia, 215-225.

Technavio. (2022). Hospitality Market in Indonesia by Service and Type of Tourists - Forecast and Analysis 2022-2026. Technavio.

Aryawijaya Adiyatma
Aryawijaya Adiyatma
Mahasiswa

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.