Dark/Light Mode

Kata Sri Mulyani, Pemasukan Lagi Seret

Kantong Negara Jebol?

Selasa, 19 November 2019 11:37 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Foto: FB @Sri Mulyani Indrawati)
Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Foto: FB @Sri Mulyani Indrawati)

RM.id  Rakyat Merdeka - Realisasi penerimaan negara tengah seret. Total penerimaan per akhir Oktober hanya Rp 1.508,7 triliun. Baru 69,7 persen dari target APBN 2019 yang ditetapkan sebesar Rp 2.165 triliun. Apakah kantong negara bakal jebol? Bahayakah kondisi ini? Atau anggap biasa-biasa saja? Semoga pemerintah segera menemukan solusinya karena “dapur” bisa goyang kalau pengeluaran dikurangi.

Seretnya penerimaan itu diakui Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Dia merinci, jumlah Rp 1.508,7 triliun itu berasal dari pendapatan dalam negeri dan penerimaan hibah. Untuk pendapatan dalam negeri, berasal dari penerimaan perpajakan yang terkumpul hingga akhir Oktober 2019 sebesar Rp1.173,9 triliun. Setara 65,7 persen dari target. Pertumbuhannya pun hanya 1,2 persen dari tahun lalu. Padahal, di 2018, pertumbuhannya mencapai 17 persen.

Untuk realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP), tercatat sebesar Rp 333,3 triliun. Setara 88,1 persen dari target dengan tingkat pertumbuhan hanya 3,2 persen. Adapun realisasi penerimaan hibah hingga 31 Oktober 2019 sebanyak Rp1,7 triliun atau 395,5 persen dari target APBN sebesar Rp 400 miliar. Penerimaan hibah tumbuh paling tinggi sebesar 77,9 persen. 

Melesetnya target realisasi pendapatan negara diwarnai tekanan bertubi-tubi dari turunnya harga minyak dan gas (migas) hingga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di bawah ekspektasi. “Ada empat alasan, harga migas rendah, lifting di bawah target, volume lebih rendah, dan kurs rupiah yang lebih kuat,” ujar Sri Mulyani menjelaskan seretnya penerimaan negara dalam pemaparan APBN Kita, di Gedung Dhanapala, Kementerian Keuangan, kemarin. 

Sri Mulyani mencontohkan, realisasi harga minyak Indonesia (ICP) yang secara year-to-date masih di 62 dolar AS per barel. Sedangkan asumsi makro berada di angka 70 dolar AS barel. Kemudian, lifting minyak sejak awal tahun rata-rata berada di 744.000 barel per hari. Padahal, di asumsi makro dipatok 775.000 barel per hari.

Baca juga : Jaga Istri yang Hamil Tua, Menparekraf Jadi Suami Siaga

Sementara, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, sejak awal tahun rata-rata di angka Rp 14.162. Lebih baik dari asumsi di APBN 2019 sebesar Rp 15.000. “Dengan lifting yang di bawah asumsi, harga minyak, dan kurs, tentu akan mempengaruhi penerimaan pajak dan PNBP yang pasti lebih rendah,” imbuhnya. 

Faktor lain adalah belum optimalnya penerimaan pajak adalah perang dagang antara AS dengan China. Ini menjadi sentimen yang masih berlanjut dan memengaruhi ekonomi domestik. Menjelang akhir tahun, sentimen makin bertambah dengan tensi politik yang mendekati Pilpres 2020 di AS. Di belahan dunia lain, kontraksi manufaktrur Jerman, ketidakpastian Brexit, quantitative easing oleh European Central Bank (ECB) menghantui pertumbuhan ekonomi di Benua Biru. 

Di sisi belanja, kata Sri Mulyani, sampai akhir Oktober, pemerintah sudah menggelontorkan dana Rp 1.798 triliun atau 73,1 persen dari target APBN. Rinciannya: belanja pemerintah pusat Rp 1.121,1 triliun atau 68,6 persen, dan transfer ke daerah/dana desa sebesar Rp 676,9 triliun atau 81,9 persen. 

Perkembangan penerimaan dan belanja tersebut menghasilkan defisit Rp 289,1 triliun atau 1,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pada akhir tahun, pemerintah menargetkan defisit anggaran sebesar Rp 296 triliun atau sekitar 2,2 persen PDB. 

Sebelumnya, di DPR, dua minggu lalu, Sri Mulyani menyatakan, target penerimaan negara yang ditetapkan pemerintah tahun ini sangat realistis. Saat target disusun, pemerintah tidak memprediksi kondisi perekonomian akan seperti ini. Dengan kondisi perekonomian global yang menekan saat ini, maka pemerintah juga melihat bagaimana untuk penyusunan tahun berikutnya. 

Baca juga : Hari Ini, Jokowi Resmikan Jalan Tol Terpanjang Trans Sumatera

Sri Mulyani menekankan, saat ini yang paling penting adalah fungsi dari APBN untuk menjaga ekonomi agar tetap berkelanjutan. Kemenkeu akan tetap berupaya mengumpulkan penerimaan paling tidak mendekati dari target APBN. “Dari sisi angka, terutama dari sisi penerimaan, itu enggak akan mungkin terjadi akurasi. Karena ekonomi bergerak. Namun, kita juga akan terus mencoba mendekati apa yang sudah ditargetkan,” kata dia. 

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, mengungkapkan, jika penerimaan negara meleset dari target, akan terjadi pelebaran defisit di akhir tahun. “Kalau defisit mendekati angka 3 persen, maka tidak ada cara lain, belanja akan ditahan,” ujar Bhima kepada Rakyat Merdeka, semalam. 

Kondisi seperti ini, lanjut dia, berakibat fatal bagi perekonomian. Kondisi seperti ini menyebabkan dua hal. Pertama, pelebaran defisit akan membuat pemerintah makin gencar cari utang. Kedua, konsekuensi ditahannya belanja itu membuat ekonomi makin seret. 

Ekonom dan Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, berpandangan beda. Dia menyebut, pelebaran defisit sesuatu yang wajar. Sebab, ada peningkatan belanja negara sementara target penerimaan pajak semakin jauh dari target. “Pelebaran defisit bukan suatu yang buruk apalagi sebuah dosa,” ujarnya. 

Dia meyakini, pemerintah memang telah memproyeksikan defisit akan berada di atas 2 persen. “Strategi pelebaran defisit ini seharusnya yang diambil pemerintah ke depan,” imbuhnya. Di tengah perlambatan global, kata dia, pemerintah harus meningkatkan permintaan domestik khususnya lewat konsumsi dan investasi.

Baca juga : Cinta Mati, Ansu Fati Ingin Selamanya di Barca

Hal itu bisa dilakukan dengan memberikan insentif fiskal berupa kelonggaran pajak serta meningkatkan belanja. Menurut dia, banyak negara melakukan kebijakan ini. “Ini yang disebut kebijakan kontrasiklus, melawan perlambatan global,” ujar Piter. 

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, menyebut, penerimaan negara memang tertekan karena perekonomian global dan domestik. Kondisi ketika realisasi lebih rendah dibandingkan dengan target yang ditetapkan dalam APBN yang disebut shortfall akan mendorong efisiensi belanja atau menambah utang. Namun, Yustinus melihat, kondisi sekarang masih aman. “Menurut saya, meski tertekan, APBN masih akan aman dan defisit juga aman,” ujarnya, semalam. [OKT]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.