Dark/Light Mode

BI dan OJK Ingatkan Fintech Lindungi Nasabah

RI Peringkat 9 Negara Rawan Serangan Cyber

Jumat, 13 November 2020 05:45 WIB
Volume transaksi Fintech terus meningkat di masa pandemi.
Volume transaksi Fintech terus meningkat di masa pandemi.

RM.id  Rakyat Merdeka - Industri keuangan, terutama Financial Technology (Fintech) harus terus melakukan inovasi di dalam melindungi transaksi nasabahnya. 

Sebab, Indonesia masuk 10 besar negara yang rawan mengalami serangan cyber.

Bank Indonesia (BI) menyebut bisnis Fintech terus tumbuh mengikuti kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, Bank Sentral mengingatkan, para pelaku bisnis Fintech agar terus melakukan inovasi untuk mengamankan tiap transaksi digital. 

Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia, Sugeng semakin digital suatu layanan, maka perhatian pada risiko dan keamanan juga harus makin tinggi. 

Sebab, landscape risikonya ikut bergeser. Perhatian terhadap proteksi data perlu semakin gencar. 

“Kita sangat rentan terhadap serangan cyber. Indonesia itu peringkat 9 di dunia sebagai negara yang paling rentan atau rawan akan serangan cyber,” ungkap Sugeng dalam diskusi virtual, kemarin. 

Sugeng mendorong agar ada jaminan keseimbangan, antara inovasi dengan perlindungan konsumen. Apalagi, pihaknya mencatat volume transaksi digital di masyarakat mengalami peningkatan signifikan selama pandemi. 

Baca juga : BI Dan Singapura Perpanjang Kerja Sama Keuangan Bilateral

“Saya melihat memang kita pasar yang luar biasa bagi ekonomi digital. Pertumbuhan seluruh pasar digital, termasuk e-commerce dan Fintech sampai 79 persen di 2020,” ungkapnya. 

Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida, menilai positif pertumbuhan industri keuangan digital. Hal itu dapat memberikan banyak manfaat besar bagi masyarakat. 

Hanya saja, dia menuntut tanggung jawab pelaku industri dalam memberikan perlindungan kepada nasabahnya. 

Nurhaida mengungkapkan, berdasarkan hasil survei yang dilakukan OJK tahun lalu, inklusi keuangan Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan indeks literasi keuangan. 

Artinya, banyak masyarakat Indonesia ikut ke dalam sistem keuangan, tapi tidak terlalu paham tentang transaksi dan masalah keuangan. 

“Maka itu kami merespons agar inovasi keuangan digital bisa bertanggung jawab, aman, mengedepankan perlindungan konsumen. Serta, memiliki risiko yang terkelola dengan baik,” jelasnya. 

Untuk pengawasan terhadap Fintech, lanjut Nurhaida, tidak hanya tugas OJK. Tetapi juga BI karena Fintech menjalankan bisnis payment. 

Baca juga : Kembangkan Sistem Analisis Data Nasabah, Bank Mandiri Integrasi Layanan

“Tanggung jawab pengawasan bidang payment itu kan di bawah BI,” tuturnya. 

Sementara, Ketua Umum, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Adrian Gunadi menilai, yang menjadi ancaman perkembangan industri keuangan digital adalah Fintech illegal. 

“Layanan pinjaman Fintech ilegal ini sepintas sebagai solusi. Tapi ujungnya malah merugikan masyarakat. Mereka menerapkan bunga sangat tinggi dalam jangka waktu singkat,” terangnya. 

Menurutnya, saat ini tingkat kebutuhan masyarakat akan dana pinjaman makin tinggi. Rasio kredit macet di industri Fintech juga meningkat. Hal itu terjadi karena kurangnya literasi keuangan di masyarakat. 

“Saya melihat target operasi Fintech ilegal ini masyarakat yang kesulitan ekonomi,” terang Adrian. 

Praktisi keamanan cyber dari Vaksin.com, Alfons Tanujaya menyampaikan, potensi serangan cyber atau upaya peretasan terhadap layanan keuangan akan selalu ada. 

Dia menyarankan, pengguna layanan aplikasi atau Fintech perlu mengganti password berkala sebagai bentuk perlindungan pertama. 

Baca juga : Ada Pandemi, Muhammadiyah Imbau Peringatan Maulid Nabi Dilakukan Sederhana Saja

“Perusahaan e-commerce besar semuanya memiliki tambahan sistem perlindungan. Tapi sebagai upaya tambahan lebih kita memang harus sering mengganti password,” kata Alfons kepada Rakyat Merdeka, kemarin. 

Alfons juga mengingatkan masyarakat agar berhati-hati dalam meng-klik tawaran dari Fintech ilegal. Antara lain, melalui pengiriman link melalui Short Message Service (SMS). 

“Link SMS dari Fintech ilegal itu menjalankan aktivitas berbahaya. Diklik akan terinstal otomatis. Kemungkinan di situ malware akan aktif,” ungkap Alfons. 

Dia menilai, literasi keuangan digital masyarkat harus terus ditingkatkan. Regulator dan perusahaan Fintech harus lebih gencar melakukan edukasi dan memberikan peringatan, tentang bahayanya tawaran pinjaman online yang banyak beredar. [JAR]
 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.