Dark/Light Mode

Pemerintah Kudu Perluas Tax Base Dan Tax Ratio

Selasa, 10 Agustus 2021 15:09 WIB
Peneliti Ekonomi dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Christine Chen. (Foto: Ist)
Peneliti Ekonomi dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Christine Chen. (Foto: Ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - Agar tidak ketergantungan cukai tembakau, pemerintah harus memperluas tax base, tax ratio, dan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Selanjutnya, ketiga sektor ini harus dimasukkan dalam usulan Perubahan Kelima Undang-Undang Perubahan 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU Perpajakan) yang sedang dibahas bersama DPR.

"RUU Perpajakan yang baru, dibuat untuk mengakomodasikan perpajakan baik di dalam maupun luar negeri. Perbaikan UU Perpajakan tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga dunia internasional," kata Peneliti Ekonomi dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Christine Chen dalam keterangannya, Selasa (10/8).

Contohnya, kenaikan PPN yang diusulkan pemerintah 12 persen dari yang saat ini 10 persen. Usulan kenaikan ini bukan hanya dilakukan pemerintah Indonesia. Negara lain yang tergabung dalam OECD, Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan, bahkan menaikkan PPN hingga 15 persen.

Selain itu, Christine menilai, untuk azas keadilan, pemerintah sedang mempertimbangkan pengenaan PPN 12 persen dan 15 persen atau dengan sistem multitarif. Untuk produk dan jasa tertentu, akan dikenakan PPN 12 persen. Sedangkan untuk jasa dan produk yang lainnya akan dikenakan PPN 15 persen.

Baca juga : Vaksin Covid Nggak Ribet Kok

"Menurut pemerintah akan ada tarif spesial, seperti beras kualitas prima dari luar negeri akan dikenakan tarif PPN yang lebih tinggi dibandingkan beras dalam negeri. Sementara penjualan beras di pasar tradisional tidak dikenakan pajak. Namun demikian, penerapan sistem multitarif akan menimbulkan administrasi yang lebih rumit," ulasnya.

Christine lebih setuju dengan pengenaan PPN single tarif. Yakni 12 persen untuk semua jenis obyek pajak jasa maupun produk. Alasannya, karena sistem ini lebih sederhana dan mudah diterapkan pemerintah maupun pihak lain. Sedangkan multitarif justru menimbulkan inefisiensi karena biaya administrasinya lebih tinggi.

Peneliti Pusat Pengkajian Kebijakan Ekonomi Universitas Brawijaya Malang Imanina Eka Dalilah menilai, pandemi menekan penerimaan negara. Menurutnya, cukup bijak jika pemerintah menaikkan PPN 12 persen dan memperluas  tax base (basis barang dan jasa yang akan dikenakan pajak).

Kata Imanina, dalam upaya memperluas basis pajak di masa pandemi ini, ada dua hal penting yang perlu diperhatikan. Pertama, kecermatan untuk memilah sektor mana saja yang tidak terdampak dan sektor mana saja yang terdampak pandemi. Hal itu menjadi perhatian penting dalam upaya memperluas basis pajak di masa pandemi.

Baca juga : Tidak Elok, Pemerintah Saling Sindir Data Bansos Di Media

Kedua, menurut Imanina, ada beberapa kebijakan yang sebetulnya berpotensi untuk menjadi opsi diversifikasi pajak. Namun belum bisa diterapkan di masa pandemi saat ini karena sektor tersebut misalnya masih terdampak dan butuh dukungan pemerintah.

Kedua ekonom ini mengusulkan pemerintah memperluas basis penerimaan pajak (tax bases) dalam rangka meningkatkan penerimaan ataupun pencapaian target pajak. Salah satunya pajak carbon bagi perusahaan maupun individu yang kegiatan usahanya dapat mencemari lingkungan.

Selain pajak carbon, Imanina juga melihat demi keadilan di bidang perpajakan, sekaligus meningkatkan rasio pajak dan penerimaan negara dari sektor pajak, pemerintah perlu mengenakan cukai bagi industri soda dan plastik, maupun objek pajak lainnya.

Saat ini produk industri hasil tembakau (IHT) telah cukup berat dibebani berbagai pajak yang harus ditanggungnya. Pemerintah tidak bisa terus menekan IHT dengan terus-menerus menaikkan tarif cukainya. Konsekuensinya, tidak hanya berdampak negatif pada keberlangsungan IHT, tetapi juga memicu semakin maraknya peredaran rokok ilegal, yang justru menghilangkan potensi penerimaan negara.

Baca juga : LVRI: Pemerintah Serius Tangai Pandemi, Sikat Yang Ngerecokin!

Agar IHT tidak menjadi andalan pendapatan negara dari cukai, pemerintah perlu meningkatkan tax base atau barang barang lain yang  kena cukai. Beberapa di antaranya adalah plastik, soda atau sugar tax.

"Barang kena cukai yang diterapkan negara lain dapat diadopsi Indonesia untuk menjadi alternatif penerimaan cukai pemerintah selain cukai hasil tembakau atau CHT. Antara lain: baterai, penggunaan freon, makanan dan minuman berkarbonasi, gula, kendaraan bermotor, kartu permainan, peralatan listrik, bahan peledak, parfum, perhiasan, dan masih komoditi lainnya yang dapat dikaji," ulas Imanina.

Dijelaskan Imanina, barang kena cukai adalah barang-barang yang dibatasi peredaran ataupun konsumsinya. Hal ini disebabkan karena menganggu kesehatan maupun dampak eksternalitas negatif seperti kerusakan lingkungan.

"Ekstensifikasi barang kena cukai (BKC) tersebut diharapkan mampu menyokong penerimaan cukai, sekaligus penerimaan negara. Kita tidak dapat terus mengandalkan cukai hasil tembakau saja untuk mengakselerasi penerimaan negara," pungkasnya. [MEN]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.