Dark/Light Mode

Soal Transaksi Rp 349 T

Mahfud-Sri Mul Belum Satu Suara

Sabtu, 1 April 2023 08:49 WIB
Wakil Menteri Keuangan Suahasil. (Foto: Ist)
Wakil Menteri Keuangan Suahasil. (Foto: Ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - Pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD soal transaksi mencurigakan Rp 349 triliun dalam rapat Komisi III DPR Rabu lalu, membuat Kementerian Keuangan makin dicurigai. Karena alasan itu, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara buru-buru menyampaikan klarifikasi. 

Secara umum, apa yang disampaikan Suahasil kurang lebih sama dengan yang dipaparkan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat Komisi XI DPR, awal pekan lalu. Intinya tak ada yang janggal dalam laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) soal transaksi mencurigakan itu. Sikap ini, berbeda dengan pernyataan Mahfud MD yang curiga betul transaksi Rp 349 triliun itu terkait pencucian uang. Mahfud dan Sri Mulyani cs belum satu suara. 

Kehebohan transaksi mencurigakan Rp 349 triliun makin menjadi setelah Mahfud MD hadir dalam rapat dengan Komisi III DPR, Rabu lalu. Dalam rapat itu, Mahfud menyampaikan data transaksi Rp 349 triliun itu sama dengan disampaikan Sri Mul pada rapat Komisi XI DPR dua hari sebelumnya. Yaitu dari laporan hasil analisis dari PPATK. Namun, yang berbeda adalah persoalan sudut pandang. Mahfud dengan lugas menyatakan transaksi itu terkait dengan dugaan pencucian uang. 

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu lalu mengungkap beberapa modus dalam dugaan pencucian uang. Ada yang terkait pendirian perusahaan cangkang, ada juga terkait penyelundupan emas dengan nilai transaksi senilai Rp 189 triliun. Kata Mahfud, laporan soal dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) ini sebenarnya sudah diserahkan ke Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai. Sayangnya tak ada tindaklanjutnya. Karena itu PPATK kembali mengirim laporan hasil analisis pada 2020. 

Menurut Mahfud, Sri Mul tak mengetahui soal ini karena aksesnya ditutup oleh anak buahnya. Tak cuma itu perbedaan sudut pandang Mahfud dan Sri Mul juga beda. Mahfud menyebut transaksi mencurigakan yang melibatkan pegawai Kemenkeu sebesar Rp 35 triliun. Namun, menurut Sri Mul hanya Rp3 triliun.  

Baca juga : Soal Kisruh Dana Rp 349 T, Prof Didik Dorong DPR Bikin Pansus

Omongan Mahfud ini membuat sejumlah anggota Komisi III DPR curiga ada yang ditutupi oleh Sri Mul. Tak cuma itu, sebagian lagi curiga pegawai Kemenkeu ada main. Karena dugaan pencucian uang tidak ditindaklanjuti. 

Menanggapi kecurigaan itu, Wamenkeu Suahasil mengatakan, data yang disampaikan Sri Mul dengan Mahfud sama. Yaitu berdasar 200 surat yang berisi laporan analisis dari PPATK. Rinciannya, 135 surat terkait perusahaan dan pegawai Kemenkeu dengan transaksi mencurigakan senilai Rp 22 triliun. Dari nilai tersebut Rp 18,7 triliun dilakukan oleh perusahaan dan Rp 3,3 triliun oleh PNS Kemenkeu. Sebanyak 65 surat dengan nilai transaksi mencurigakan senilai Rp 253 triliun.

Sebenarnya ada 100 surat lagi. Namun, Kemenkeu mengaku tidak mengetahui isi surat tersebut karena ditujukan kepada aparat penegak hukum. Jadi, Kemenkeu hanya menghitung berdasarkan 200 surat yang diterima dari PPATK yaitu sebesar Rp 3,3 triliun. 

Sedangkan Mahfud, kata Suahasil, menghitung nilai transaksi mencurigakan pegawai Kemenkeu dari 300 surat yang dikirimkan PPATK ke penegak hukum dan Kemenkeu. "Sehingga nilainya jadi Rp 35 triliun," kata Suahasil saat menyampaikan klarifikasi di kantornya, Jakarta, kemarin. Ia didampingi Sekjen Kemenkeu Heru Pambudi. 

Suahasil juga menjelaskan transaksi Rp 189 triliun terkait kepabeanan ekspor emas. Soal ini, Suahasil mengakui pada Januari 2016, Bea Cukai mencegah ekspor logam mulia. Soalnya dalam dokumen disebut perhiasan sebesar 6,8 juta dolar AS. Namun setelah dicek ternyata emas batangan. 

Baca juga : Rapat Soal Transaksi Rp 349 Triliun Panas, Mahfud Balas Gertak Anggota DPR

Kemudian pihaknya melakukan pendalaman dan penyelidikan soal tidak pidana kepabeanan. Ekspor emas itu akhirnya disetop Bea Cukai. Dan, proses masuk ke Pangadilan pada 2017-2019. 

Suahasil memaparkan, di tingkat Pengadilan Negeri, pihak Bea Cukai kalah, lalu maju untuk kasasi hingga akhirnya menang di tingkat tersebut. Kemudian pihak perusahaan yang terlibat, mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dan pihak Bea Cukai kembali kalah. "Dianggap tidak terbukti ada tindak pidana kepabeanan di PK pada 2019," ujar Suahasil. 

Karena kalah, Kemenkeu tidak bisa mengusut dugaan TPPU dalam kasus ekspor 218 kg emas batangan itu. "Kalau tindak pidana tidak terbukti di pengadilan, ya TPPU-nya enggak maju," jelas Suahasil. 

Selanjutnya pada 2020, pihak Bea Cukai mengendus perusahaan yang sama melakukan ekspor emas dengan modus yang sama. Tapi karena sudah kalah di PK pada 2019, pihak Kemenkeu pun mencoba mengejar pajak perusahaan tersebut. Pajak perusahaan yang mengekspor logam mulia itu pun ditangani oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pihak DJP telah memeriksa sejumlah wajib pajak baik perusahaan maupun orang pribadi.

"Hingga saat ini nilai penerimaan pajak yang dihasilkan terkait dengan informasi hasil pemeriksaan PPATK tersebut senilai Rp 16,8 miliar dan mencegah restitusi senilai Rp 1,6 miliar," papar Suahasil.

Baca juga : Para Pengasuh Ponpes Dorong Mahfud Bongkar-bongkar Di DPR

Apa kata Presiden Jokowi soal kisruh ini? Jokowi enggan bicara panjang lebar. Mantan Wali Kota Solo itu meminta awak media menanyakan langsung persoalan ini pada Mahfud dan Sri Mulyani. 

Di tempat terpisah, Mahfud MD mengomentari pernyataan Suahasil. Ia mengomentari berita online yang isinya pernyataan Suahasil. "Akhirnya clear-kan? Wamenkeu mengakui tidak ada perbedaan data antar Kemenkeu dan Menko Polhukam/PPATK tentang dugaan pencucian uang. Angka agregat Rp 449 triliun dengan 300 surat. Bedanya hanya cara memilah data. Itu yang saya bilang di DPR. Sekarang tinggal penegakan hukumnya," cuit Mahfud, di akun Twitter @mohmahfudmd. 

Sementara itu, Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar meminta, Aparat Penegak Hukum (APH) segera menemukan unsur pidana di balik skandal Rp 349 triliun. Fickar memandang, KPK mesti terlibat aktif dalam pengusutan skandal ini. Ia meyakini KPK punya perangkat penyelidikan dan SDM yang memadai.

Fickar menyebut, skandal ini dapat lebih cepat terungkap ketika sudah ada alat bukti yang sah seperti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk. Di sinilah APH dapat PPATK. "Menko Polhukam tidak bisa memaksa (penyelidikan) sepanjang belum ada bukti-bukti yang nyata sebagaimana diatur dalam 184 KUHAP," ujar Fickar, kepada Rakyat Merdeka, tadi malam.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.