Dark/Light Mode

Soal BPJS Kesehatan

JK: Tersandera Politik

Jumat, 18 Januari 2019 06:59 WIB
Wakil Presiden Jusuf Kalla (Foto: Dwi Pambudo/Rakyat Merdeka)
Wakil Presiden Jusuf Kalla (Foto: Dwi Pambudo/Rakyat Merdeka)

RM.id  Rakyat Merdeka - Wapres Jusuf Kalla mengakui BPJS Kesehatan terus mengalami defisit karena tersandera politik. Pemerintah belum mau menaikkan iuran BPJS karena sekarang merupakan tahun politik.

Sejak dibentuk, BPJS Kesehatan terus mengalami defisit keuangan. Dari tahun ke tahun, defisitnya makin membesar. Ujung-ujungnya rakyat yang dirugikan. Pelayanan menurun, dan sebagainya. Banyak rumah sakit yang menolak pasien karena BPJS Kesehatan masih menunggak utang berbulan-bulan.

Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) memperkirakan defisit BPJS kesehatan tahun ini mencapai Rp 10,5 triliun. Defisit terjadi karena ketidakseimbangan antara penerimaan yang berasal dari peserta, dan pengeluarannya yang terbilang cukup besar.

JK mengatakan, jika defisit itu tak segera ditanggulangi, ia khawatir akan berdampak pada pelayanan kesehatan bagi rakyat. Tak hanya rakyat, rumah sakit, pabrik obat pun akan kena dampaknya. Intinya tanpa arus keluar masuk uang yang bagus, pelayanan rumah sakit akan turun. Ke depan, lanjut JK, program BPJS Kesehatan harus tetap berjalan karena telah diamanatkan undang-undang.

Baca juga : JK & Luhut Beda Sikap

Apalagi BPJS Kesehatan diklaim sebagai asuransi terbesar dengan biaya termurah yang ada di dunia. JK membandingkan dengan biaya asuransi kesehatan di Vietnam, yang preminya mencapai Rp 60 ribu. Sementara premi BPJS Kesehatan, yang paling rendah ada di kisaran Rp 25 ribu.

Biaya kesehatan yang meningkat disertai membludaknya kepesertaan, ditengarai membuat nilai iuran saat ini terdengar tidak relevan lagi. Bekas Ketum Golkar ini tak menampik, salah satu solusi untuk mengurangi defisit adalah dengan menaikkan premi. Namun kata dia, karena tahun politik, kebijakan itu tidak diambil.

JK pun menyampaikan permohonan maaf lantaran tak mau ambil risiko menaikkan premi BPJS kesehatan demi mengurangi defisit. JK mengatakan hal itu tak lepas dari pengaruh gelaran pemilu serentak, April mendatang.

"Saya orang politik, minta maaf juga. Memang kita butuh momen tertentu dalam periode politik yang kebijakannya harus menunggu. Saya berharap jangan ada perubahan," kata JK saat memberikan sambutan seminar diskusi dengan tema Pembiayaan yang Berkelanjutan untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menuju Universal Health Coverage (UHC) kantor CSIS Jakarta, Kamis (17/1).

Baca juga : Neraca Keuangan Perusahaan Negara Dipastikan Aman

Menurut JK, pemerintah di mana pun tak akan mengeluarkan kebijakan yang tak populis menjelang pemilu. Di Amerika Serikat, kata JK, semua kebijakan dibuat populis mendekati pemilu. Namun, ia menegaskan, pemerintah tetap berupaya menutup defisit yang terbilang besar itu lewat cara lain.

Misalnya, pemerintah melalui Kementerian Keuangan, telah menggelontorkan bantuan sebesar Rp 10,5 triliun bagi BPJS Kesehatan pada tahun lalu. "BPJS minta sekitar Rp 15 triliun, Kemenkeu beri Rp 10,5 triliun. Itu juga menolong," katanya.

Sesuai amanat pasal 16 Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018, besaran iuran memang harus ditinjau kembali setiap dua tahun. Penyesuaian iuran BPJS Kesehatan terakhir kali dilakukan pada 2016 melalui Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016.

Melalui beleid itu, iuran peserta kelas I per bulan berubah dari Rp59.500 ke Rp80 ribu, kelas II berubah dari Rp42.500 ke Rp51 ribu, dan kelas III disesuaikan dari Rp25.500 ke Rp30 ribu.

Baca juga : Kawah Anak Krakatau Kini Terisi Material Erupsi

JK mengungkapkan, BPJS Kesehatan adalah lembaga asuransi terbesar di dunia. Bahkan, katanya, jauh melebihi lembaga yang dimiliki negara adidaya Amerika Serikat, Obama Care.

BPJS Kesehatan memiliki anggota 215 juta orang. Sementara Obama Care, 25 juta. Akhir tahun 2017, JK mengungkapkan pemerintah tengah mempertimbangkan realisasi menaikkan premi atau nilai iuran peserta BPJS Kesehatan.

Selain itu, JK juga mengusulkan agar semua Pemerintah Daerah (Pemda) terlibat menyokong layanan BPJS Kesehatan.

"Pemda harus ikut bertanggung jawab, karena sekarang Pemda merasa itu semua ke pusat. Sehingga, Dinas Kesehatan tak mengontrolnya, apalagi gubernur, bupati tidak mengontrol, jadi banyak juga hal-hal yang tidak sesuai," kata dia. [BCG]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.